Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Ijinkan Aku Menciummu

29 Mei 2014   15:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IJINKAN AKU MENCIUMMU

(Cerita Pendek Sekali)

Sebuah bilik di sudut kota, temaram.

Seharian menjadi kuli panggul, Darya merasakan ba’da Isya merupakan saat yang menyenangkan. Ia menyelonjorkan kakinya di atas kasur kumal. Istrinya telah membereskan piring sisa makan malam. Walau ia tahu, itu bukanlah makan malam dengan istilah sindiran lain dinner. Darya, Waryati, dan anak-anak memang hanya makan dua kali sehari. Pagi dan malam. Siang hari Darya dan Waryati tak pernah tahu anak-anaknya makan di mana. Yang penting, anak-anak selalu mengatakan sudah makan siang.

Malam remang-remang. Bilik hanya diterangi lampu lima watt.

Waryati merebahkan diri di samping suaminya. Tangan lelaki itu meraba tangan Waryati. Jemari keduanya bertaut.

“Anak-anak sudah tidur?”

“Sudah. Rupanya kekenyangan.”

“Syukurlah malam ini anak-anak tidur kekenyangan. Bukan tidur karena kelaparan seperti hari-hari yang lain.”

“Hari ini dapat rejeki banyak rupanya Kang?”

“Lumayan. Kau lihat sendiri di saku baju itu.”

“Nggak ah. Akang saja yang simpan.”

“Kamu nggak pernah mau melihat penghasilanku berapa. Dari dulu begitu.”

“Sudahlah Kang. Yang penting bagi aku, lebaran nanti bisa pulang. Bisa bawa oleh-oleh.”

“Aaaah baguslah, kalau begitu pikiranku hanya satu. Mengumpulkan uang. Kita pulang naik apa nanti? Kereta?”

“Tiket sudah habis Kang.”

“Kalau begitu bis umum saja.”

“Biasanya juga begitu.”

“Kamu senyum dong…..”

“Biasanya juga begitu.” Kata Waryati tersenyum.

Darya bangkit. Ditatapnya mata istrinya. Waryati membalas tatapan suaminya. Perlahan Darya menyibakkan rambut Waryati yang menutup sebagian keningnya. Waryati memejamkan mata. Sentuhan Darya begitu lembut ia rasakan.

“Maaf, malam ini aku tak ingin menciummu….” Kata Darya perlahan.

Waryati membuka mata.

Perempuan itu duduk. Keduanya duduk berhadapan. Waryati menatap mata suaminya. Perlahan ia memegang kedua pundak suaminya, kemudian kedua lengannya yang kekar. Waryati kembali menatap mata suaminya. Darya tersenyum. Waryati mengatubkan bibir. Matanya terasa panas. Tidak terasa dua butir air mata menetes dari sudut matanya.

“Kenapa?” Tanya Darya heran.

“Enggak… enggak apa-apa.” Kata Waryati sambil tersenyum, seraya menyeka air matanya dengan punggung tangannya.

“Kamu menyesal ya?”

“Enggak. Akang sekarang tiduran.”

“Kenapa?”

“Tiduran.” Kata Waryati seraya mendorong Darya. Darya menurut.

“Kenapa sih galak bener?”

“Mau aku pijit nggak?”

“Aha! Itu kalimat di malam pertama dulu!”

“Mau aku pijit nggak?”

“Itu kalimat di malam-malam berikutnya ……”

“Mau aku pijit nggak?” Kata Waryati sambil mencubit betis suaminya yang tengkurap.

“Mauuuuu……..”

Waryati mulai memijit betis suaminya. Darya merasakan sentuhan telapak tangan Waryati. Dulu telapak tangan itu halus. Sekarang tidak lagi. Telapak tangan itu telah berubah menjadi lebih kasar. Tak selembut dulu. Darya tahu, setiap hari istrinya bekerja menjadi buruh cuci. Semuanya untuk bersama. Untuk keluarga. Untuk kedua anaknya.

Darya merasakan setiap pijitan Waryati menjadi begitu indah. Pijitan yang tulus. Pijitan seorang perempuan yang tak pernah menuntut apapun terhadap dirinya. Yang menerima apa adanya. Tiba-tiba hati Darya merasa tersedot. Dalam. Kehalusan rasa kemanusiannya terusik. Ia merasakan cinta Waryati tak pernah berubah sejak dulu. Laki-laki itu tak kuasa menahan air matanya. Dalam telungkup ia menangis, terisak.

“Akang? Akang kenapa?” Waryati kaget.

Darya bangkit. Disekanya air matanya. Kemudian dipegangnya kedua tangan istrinya.

“War….”

“Iya kenapa? Akang menangis?”

Ijinkan malam ini aku menciummu ……”

Waryati terhenyak. Ia tidak mengerti mengapa suaminya seperti itu.

Perempuan itu tak sempat mengatakan apa-apa ketika Darya telah memeluknya. Menciumnya, kemudian membenamkan wajahnya di pipi Waryati.

Perempuan itu masih merasakan suaminya menangis. Dekat, di telinganya. ***

Majalengka

29 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun