AYAH, JANGAN BERCERAI DENGAN IBU
Hardi benar-benar merasa dibenamkan ke dalam lumpur. Dadanya sesak. Mertuanya memaksanya untuk menerima pemberian rumahnya. Sementara laki-laki itu akan merasa hidupnya hambar. Ia inginkan hidup yang hanya sekali itu ada sejarah perjuangan. Rumah. Ya, rumah hasil keringat sendiri. Bukan pemberian orang lain, orang tuanya, atau mertuanya. Tidak peduli itu bagaimana cara memperolehnya, beli langsung, membangun sendiri, atau mengambil KPR.
Hardi termasuk laki-laki yang tegar. Keinginannya kuat. Ia ingin agar hidupnya bermakna. Bagi dirinya makna laki-laki adalah mampu memberikan istrinya sebuah rumah. Hidup hanya sekali. Kesekalian hidup laki-laki adalah hidup bebas. Tidak dibelit dengan hutang budi. Ia sangat malu jika sejarah mencatatnya sebagai laki-laki yang tak pernah memberi istrinya rumah. Ia akan lebih malu lagi jika menerima rumah pemberian mertuanya. Hutang budi pasti. Apalagi tentu semakin tak punya harga diri di hadapan mertuanya. Dan mungkin, istrinyapun akan menganggapnya sebagai laki-laki yang gagal.
Laki-laki hanya akan bermakna jika bisa punya rumah sendiri! Tekadnya.
Sayang, tekad tinggal tekad. Mertuanya marah-marah ketika ia menolak rumah pemberiannya. Kemarahan mungkin ia anggap wajar, tetapi ada satu hal yang menganggapnya menghina sekali. Sebelum pergi, Bapak mertuanya mengancam Hardi:
“Kamu terima rumah pemberian Bapak, atau kamu ceraikan Hartini, anakku!”
Bumi yang dipijak terasa goyang. Ia sangat kaget ketika mertuanya membandingkan rumah dengan perceraian terhadap istrinya. Ia menganggap mertuanya sangat dangkal pikirannya. Mengapa sang mertua tak bangga dengan keinginannya untuk bertekad memiliki rumah hasil jerih payah sendiri? Bukankah itu akan membangggakan istrinya? Anak mertuanya? Membangggakan anak-anak karena ia adalah seorang ayah yang lengkap, yang mampu berjalan di tengah badai perjuangan untuk mendapatkan sebuah rumah hasil jerih payahnya.
“Kamu akan ceraikan aku Mas?” tanya Hartini perlahan, air matanya berlinang.
“Ketika ayahmu membandingkan rumah dengan dirimu, sebenarnya ayah sudah tidak menganggapku lagi.” kata Hardi pelan.
“Artinya kau akan menceraikan aku kan?”
Hardi tidak menjawab. Hartini adalah perempuan yang disayangi, melebihi disayangi, dikagumi dan dicintai. Ia tidak memandang perempuan itu dari mana berasal, hanya kebetulan Hartini adalah anak orang kaya. Mungin Hardi akan lebih bersyukur jika Hartini adalah anak orang biasa. Cinta Hardi pada Hartini merupakan cinta yang disemai dengan harapan akan tumbuh menjadi sebuah kerindangan hidup. Yang tenteram. Yang nyaman. Yang menjadikan cintanya adalah tempat anak-anaknya dibesarkan dalam kerindangan cinta keduanya.
Hardi tidak berani menjawab.
Hari ini ada pertaruhan besar. Harga diri menghadapi mertua, dan kebahagiaan akan kesyahduan cinta Hartini kepadanya. Hardi mendesah. Ia tak kuasa menatap tetesan air mata Hartini, istrinya, kekasihnya yang telah memberikan anak, Pertiwi. Pertiwi adalah guratan kasih sayang dan cinta di antara Hardi dan Hartini.
Sore itu Hardi mengajak Pertiwi ke taman kota. Ia sengaja tidak meminta ijin Hartini. Ia ingin lakukan apa saja sekehendaknya, sebagaimana mertuanya juga melakukan apa saja sekehendaknya. Di taman, Pertiwi, gadis kecil umur empat tahun itu bermain sendirian. Hardi duduk terpaku. Lama. Sesekali desahnya dalam. Ia tidak sadar ketika Pertiwi telah duduk di sampingnya.
“Mengapa ayah diam?”
“Ngak apa-apa sayang. Sini….” kata Hardi memepetkan Pertiwi duduk di sisinya.
“Ayah marah gara-gara kakek minta ayah menceraikan ibu ya?”
Hardi kaget. Ia tidak menyangka kekasih kecilnya itu sampai tahu, merekam pembicaraan orang tua. Dan kini Pertiwi mengutarakannya. Hardi gundah. Ditatapnya wajah pertiwi. Wajahnya mungil. Cantik. Matanya bulat. Bibirnya yang merah jambu tersenyum. Hati Hardi runtuh melihat senyuman putri kecilnya. Tak terasa air matanya mengembang. Matanya panas.
“Ayah, Wiwi ingat kata-kata ayah pada ibu." kata Pertiwi perlahan.
"Yang mana sayang?"
"Waktu ayah merayu ibu."
"Wah? Merayu? Merayu bagaimana sayang?"
"Begini ayah, Tini sayang, aku akan mencintaimu selamanya. Sekarang ada makhluk manis yang meyakinkan cintaku padamu…” Pertiwi mengucapkan pelan dengan ejaan khas anak TK. Hardi kaget. Benar, ia pernah mengatakan kalimat itu. Tapi ia lupa di mana megatakannya.
“Dari mana Wiwi tahu ayah pernah ngomong itu?”
“Waktu aku tidur di antara ayah dan ibu, di pelukan ayah dan ibu. Ayah mendekap Wiwi dan ibu…. Ayah mengatakan itu.”
“Wiwi?”
“ Wiwi tidak tidur, ayah. Wiwi hanya pejam mata, Wiwi dengar kata ayah pada ibu. Wiwi seneng banget ayah …” Kata Pertiwi seraya merangkul kencang ayahnya. Hardi terperangah. Namun hanya sejenak. Ia balas rangkulan buah hatinya. Ia benamkan kepala Pertiwi di pipinya. Air mata Hardi kini menetes. Hingga lama Hardi memeluk anaknya. Setelah beberapa saat, Hardi merenggangkan pelukannya. Ia tatap wajah anaknya. Mata Pertiwi pun basah.
“Ayah.. ayah…. ayah jangan bercerai dengan ibu…jangan….” kata Pertiwi dalam meweknya.
Kepala Hardi terasa melayang. Laki-laki itu mencoba mengeja air mata anaknya dengan hatinya. Dalam tangis Pertiwi, ia melihat cinta Hartini, yang sejati.***
Majalengka, 02 Juni 2014
(Bisa bersambung bisa tidak, untuk sementara sekian dulu....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H