Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : KYAI KERAMAT (20)

23 Juni 2014   19:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:32 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri 20 dari 23 seri

KUSEN UNTUK JARIYAH

Beberapa saat Wak Wardan mengamati masjid An Najm yang megah. Di malam hari masjid itu semakin tampak indah. Namun keindahan itu sama sekali tak berkesan di hati Wak Wardan . Yang ada dalam memorinya adalah sebuah surau kecil yang jauh dari keindahan. Namun baginya memberikan makna yang dalam dalam hidupnya.

Perlahan laki-laki itu meninggalkan halaman masjid menuju ke arah regol. Beberapa orang yang dilewati menatapnya dengan penuh tanda tanya. Sebagian ingat, bahwa laki-laki inilah yang beberapa hari lalu pernah mengancam jajaran sesepuh Widodaren. Yang dilihatnyapun tak peduli, hingga akhirnya perlahan laki-laki itu hilang ditelan gelapnya malam.

Di rumah utama, para sesepuh sedang berupaya menyadarkan Sang Kyai . Sebagian mengoleskan minyak kayu putih di hidung Sang Kyai. Sebagian menyiapkan air bening. Bahkan Kyai Ahmad Hong telah menyiapkan salah satu botol yang telah didoakan oleh Sang Kyai sendiri.

Usaha telah dilakukan oleh beberapa orang, Sang Kyai tetap bergeming. Namun apa yang dinanti para pengasuh pesantren terkabul juga. Sang Kyai bergerak sedikit. Semua yang melihat bersyukur. Berangsur gerakan Sang Kyai menjadi semakin nyata. Ia telah mengangkat tangannya ke atas seperti mau menggapai sesuatu. Yang merubung terkesima. Apalagi ketika kemudian telapak tangan itu diletakkan di dada, kemudian wajah Sang Kyai fenomenal itu menyeringai.

“Wardaaaann….Waaak…… “

“Mengigau…..” gumam Kyai Haji Soleh Darajat yang diiyakan oleh yang lain.

“Sang Kyai …..” bisik Kyai Haji Soleh Darajat pelan dekat telinga sang fenomenal.

Dalam suasana yang menegangkan itu, ada seorang santri yang masuk kemudian minta ijin untuk bicara. Semuanyaa menoleh.

“Ada tamu Pak Kyai Haji….”

“Siapa? Mengapa malam-malam begini?”

“Tidak tahu Pak Kyai, tapi kelihatannya ia orang yang terpandang. Pakai mobil, diiringi seperti santri juga.”

“Wah siapa ya? Ya, ya, … Ustadz Hong, lanjutkan urus Sang Kyai , saya keluar sebentar.” kata Haji Soleh Darajat kepada Ustadz Hong.

“Baik Pak Kyai.”

Kyai Haji Soleh Darajat keluar rumah utama, menuju halaman depan. Agak jauh di depan masjid An Najam Kyai Haji Soleh Darajat melihat laki-laki setengah baya duduk di ruang tunggu tamu. Laki-laki itu berpakaian putih. Peci haji putih. Wajahnya segar, tampak seperti selalu tersenyum.

“Astaghfirullah….. assalaamu’alakum!“ kata Kyai Haji Soleh Darajat membaca istighfar kemudiaan berlari menyalami orang itu.

“Pak Kyai Haji Soleh Darajat…. wa’alaikumussalam”

Sugeng rawuuuh…Kyai Haji Mukhlis Abas ……”

Ternyata yang datang adalah kyai pemimpin pesantren Kedungjati. Memang tadi pagi ketika terjadi kasus HP rusak ibarat semua kontak terputus, maka Kyai Haji Mukhlis Abas memutuskan untuk nyambangi Widodaren. Dalam perhitungannya sekaligus menengok perkembangan Widodaren, menengok perkembangan Abu Najmudin, serta ingin melihat secara langsung pengobatan yang dilakukan sahabatnya itu.

“Tumben hari ini pesantren sepi… “ kata Kyai Haji Mukhlis Abas seraya melihat sekeliling.

“Ah iya.. iya…”

“Biasanya seperti ini? Sepi kaya kuburan? Hahahaaa…..”

“Aaah tidak Pak Kyai …. biasanya ya sama seperti Kedungjati. Semanger. Tadarus, debat, khitobah dan lainnya. Sama laah dengan di Kedungjati. Insya Allah karena kurikulum di sini dan di Kedungjati sama, mestinya tiap malam pun ya sama juga. Atau kurikulumnya sudah berubah? Ditambah?”

“Aaah ya masih yang itu-itu juga.”

“Itu-itu juga ya?”

“Itu-itu juga tapi berat juga kan?”

“Benar sekali…..”

“Eh, ini ceritanya ada sebuah acara khusyu’ to?”

“Khusus bagaimana?”

“Siapa tahu ada yang khusus….. ahahaaa…. mungkin karena ada orang Kedungjati datang, ibarat koyo orong-orong kepidak. Mak cep! Trus meneng!”

“Ahhh….bukan begitu Pak Kyai,waleh-waleh punapa, sebenarnya Widodaren sedang nemu beka!”

“Hah? Pesantren ini ada masalah?”

Kasinggihan Kyai.”

“Apa masalahnya? Saya kok tidak melihat Kangmas Kyai.”

“Itulah masalahnya.”

“Sang Kyai?”

“Iya.”

“Apa kangmas pergi?”

“Tidak …. , beliau di dalam. Beliau sedang pingsan!”

“Apa? Pingsan?”

“Betul Kyai….”

“Pingsan ? Dimana si kangmas itu?”

“Ada di dalam Kyai… mari…”

Kyai Haji Soleh Darajat bergegas ke dalam membawa tamu dari Kedungjati. Wajah laki-laki sahabat Sang Kyai yang semula cerah gembira, sekarang menjadi gelap tegang. Rombongan ini berjalan tergesa-gesa tanpa banyak bicara.

Assalaamu’alaikum! Sapa Kyai Haji Mukhlis Abas pada yang merubung Sang Kyai.

Wa’alaikumusalaaam! Kata yang menjawab dengan serempak. Beberapa orang yang mengenalnya langsung datang menyalami, bahkan beberapa mencium tangan Kyai Haji Mukhlis Abas. Sebagian yang belum mengenal melakukan hal yang sama.

“Bapak-bapak, mungkin ada yang belum hafal, ini beliau pimpinan pesantren Kedungjati, bapak Kyai Haji Mukhlis Abas.”

“Sekarang pasti sudah kenal, kan? Yayayaaa.., mmmm maaf bapak-bapak ustadz, sebenarnya saya ke sini juga boleh dikata tidak sengaja….…. sebentar ya.”Kyai Haji Mukhlis Abas langsung berlutut di dekat sahabatnya yang masih dibaringkan di tempat tidur.

Perlahan tangan Kyai Haji Mukhlis Abas menggenggam tangan Sang Kyai yang semula menempel di dada. Beberapa jenak Kyai Haji Mukhlis Abas melafalkan doa, tampak dari mulutnya yang komat-kamit. Sekira dua menit Kyai Haji Mukhlis Abas berdoa, kemudian tangannya yang menggenggam tangan Sang Kyai dilepas perlahan. Dengana tiga kaliisyarat jentikkan jari di atas dahi Sang Kyai , cukup untuk memberikan sebuah stimulus psikologis atas adanya kontak perasahabatan antara keduanya.

Perlahan mata Sang Kyai terbuka. Yang melihat mengucap syukur. Hati mereka yang semula tegang menjadi lega. Meraka saling berbisik satu sama lain. Yang pasti memuji Kyai Haji Mukhlis Abas.

Alhamdulillaaaahh….hirobbil ‘aalamiin. Gumam Kyai Haji Mukhlis Abas melihat sahabatnya siuman.

“Di mana saya ini?” tanya Sang Kyai.

“Di sorga!”

“Hah?!” Sang Kyai terhenyak kemudian langsung duduk. Yang melihat kaget. Benar juga, kondisi keseimbangan yang belum normal membuat Sang Kyai limbung. Namun Kyai Haji Mukhlis Abas dengan cepat menangkap tubuh sahabatnya, kemudian ditidurkan lagi.

“Tiduran sajaa…… di sorga itu banyak yang nguruuuuss…. Kalau di neraka sendirian.” dalam keadaan seperti itu Kyai Haji Mukhlis Abas masih bercanda. Efeknya sungguh besar. Sang Kyai hafal, hanya ada satu orang yang berani bercanda seenaknya terhadap dirinya yakni sahabatnya dari Kedungjati.

“Rayi? Rayi kan?” tanya Sang Kyai seolah tidak percaya.

“Yaaaa alhamadulillah kangmas sudah siuman….. “

“Memangnya saya kenapa?”

Aleman? Manja! Sudah tua saja masih aleman

“Seenaknya saja bicara rayi ini. Saya itu masih muda, belum punya istri!”

“Hahahaa…. Mau bilang jejaka tua saja susah!”

“Hhhehheee…. ini benar … kok saya seperti pasien.”

“Yaaa kangmas kan pingsan!”

“Pingsan?”

“Iya.”

“Astaghfirullaaaahh… memalukan….. hah? Si Uwak…. Wak Wardan mana?” Tanya Sang Kyai yang telah mengingat kejadian yanag baru saja dialami.

“Wak Wardan Wardan telah pergi Sang Kyai ….. “ terang Kyai Haji Soleh Darajat.

“Pergi? Mengapa?”

“Dia mau pergi saja…. kami tadi mengurus Sang Kyai dulu….”

“Jadi dia dibiarkan pergi?”

“Ya Sang Kyai.”

Gurat kekecewaan kembali muncul di mata Sang Kyai. Pernyataan Wak Wardan yang mengatakan dirinya memendam dendam hingga dilaknat, sangat mengganggu hatinya. Ini urusannya bukan main-main. Jika seseorang telah sampai lupa segalanya, ini sebuah bencana besar. Bukan pikun, tetapi Allah telah mencabut ilmunya secara langsung.

“Malam ini saya ingin membahas masalah saya dengan rayi Kyai Haji Mukhlis. Pak Kyai Haji Soleh, dan Hong tetap di sini. Yang lain silakan melanjutkan kegiatan di tempat masing-masing. Terimakasih atas perhatiannya, saya sudah sehat….”

Mendengar kata-kata Sang Kyai, yang tidak disebut namanya meninggalkan ruangan. Merekapun sadar bahwa ini urusana yang sangat pribadi, walaupun sangat ingin tahu apa bagaimana kelanjutan cerita antara Wak Wardan Wardan dan Sang Kyai.

Kini ke empat orang keluar dari kamar pula. Mereka mengambil tempat di ruang utama kembali. Beberapa saat Sang Kyai diam untuk mengumpulkan tenaga, melawan rasa limbung mengawang yang dirasakan di kepalanya. Sementara itu beberapa orang mengantar kopi dan teh panas . Kyai Ahmad Hong mengambil teh panas didekatkan ke ayahnya. Sang Kyai meraih gelas, kemudian minum beberapa sruput. Demikian pula Kyai Haji Mukhlis Abas, ia mengambil kopi. Sementara Kyai Ahmad Hong hanya duduk.

“Kangmas seharusnya sehat. Banyak masalah yang harus kangmas hadapi, baik yang ringan maupun yangberat.” Kata Kyai Haji Mukhlis Abas sambil menatap tajam Sang Kyai. Yang ditatap mengatupkan bibir.

“Maksud rayi menyindir apa meyakinkan?”

“Semakin tinggi pohon kata orang semakin kencang angin yang menerjang.”

“Ya itulah rayi…. Sepertinya malam ini pohon itu akan tumbang… “

“Apa maksudnya?”

“Bukankah tadi rayi sudah lihat saya sudah tumbang?”

“Ya.”

“Itu baru fisik rayi ….. yang di sini rayi……. sesak… sesak dada saya.”

“Kenapa gerangan?”

“Sss…..saya ….. ssaaa…..Pak Kyai Soleh…. ceritakan.” kata Sang Kyai kepada Kyai Haji Soleh Darajat. Laki-laki itu tidak kuat melanjutkan.

Kyai Haji Soleh Darajat menghela nafas dalam. Ia sulit akan memulai pembicaraan. Kyai Haji Mukhlis Abas menunggu dengan tidak tenang.

“Beratkah masalahnya Pak Kyai?” tanya Kyai Haji Mukhlis Abas yang tak betah menunggu.

“Sangat berat …. ini masalah surau yang hilang.”

“Surau hilang?”

“Sang Kyai punya kasus dengan seseorang, dia namanya Wak Wardan. Kasusnya, menurut orang tersebut adalah penggusuran surau.”

“Surau orang itu?”

“Ya. Lokasi surau itu ya yang sekarang masjid An Najm ini.”

“Kok kangmas kyai nggak pernah cerita ya….”

“Dulu Sang Kyai percaya, bahwa tanah wakaf ini tidak bermasalah. Suraupun waktu itu tak berpenghuni, tak ada merbot, dan memang waktu itu kosong. Benar-benar kosong. Tentu saja perobohan surau itu bukan atas i’tikad buruk. Buktinya sekarang berdiri masjid megah ini.”

“Terus apa hubungannya dengan Pak Wardan itu?”

“Ternyata dialah merbotnya. Pada saat penggusuran surau, ternyata ia sedang bekerja di kota, demi perutnya yang kelaparan. Surau itu sendiri menjadi kosong karena disamping merbotnya ke kota, orang-orang yang dititipi tidak ada yang mau. Begitu Wak Wardan pulang, ternyata pembangunan An Najm dan lingkungan pesantren sudah dimulai.”

“Dia kecewa?”

“Sangat Pak Kyai.”

“Itukah yang menyebabkan Sang Kyai sampai pingsan karena mengecewakan orang?”

“Ada yang lebih besar lagi.”

“Saking kecewanya orang itu, seluruh pengetahuannya tetang Islam hilang, hafalan hilang , ketrampilan membaca huruf hijaiyyah juga hilang. Maka sejak saat-saat hal itu terjadi, laki-laki itu tak pernah lagi menjalankan kewajiban shalat……”

Tertegun Kyai Haji Mukhlis Abas demi mendengar penuturan Kyai Haji Soleh Darajat. Dilihatnya Sang Kyai yang masih tertelungkup. Laki-laki ini kelihatan sedang menangis. Hingga beberapa menit Kyai Haji Mukhlis Abas membiarkan Sang Kyai menangis sesenggrukan sambil tertelungkup di meja.

“Kangmas …. berhentilah menangis. Sekarang juga kita harus ke Pak Wardan…. Ayolah saya temani.”

“Puluhan tahun dia menyimpan dendam rayi….. tapi tidak pernah ngomong! Dendam itu dia rasakan sendiri, diendapkan dalam hatinya, hingga akhirnya berpengaruh pada kestabilan syaraf pengingat untuk menghilangkan semua yang dibencinya.”

“Ya, lama juga.”

“Jika memang demikian, maka sebenarnya hanya saya tidak layak menjadi pemimpin pesantren ini rayi…..”

“Jangan begitu… kuncinya adalah kita temui dia. Jangan pernah berputus asa, kita temui dia…. mudah-mudahan ada kebaikan dalam kasus ini.”

“Amiin.”

“Sekarang juga saya antar kangmas ke rumah orang itu. Bukankah dia orang sini juga?”

“Ya dia orang sini. Yang kasus kuburan kucing itu…”

“Oooo orang ini?”

“Ya.”

“Ya sudah , sekarang juga kita berangkat. Kangmas kuat?”

“Insya Allah.” Kata Sang Kyai , kemudian minum beberapa teguk teh panas lagi.

“Iya. Ayo….. “

Malam itu kedua kyai bersahabat itu berjalan kaki diiringi beberapa santri menuju arah timur ke tempat kediaman Wak Wardan. Mereka tidak peduli malam telah larut.Keluar dari area pesantren Sang Kyai berhenti sebentar. Badannya dibalikkan. Matanya menatap masjid An Najm yang dihiasi sinar lampu. Hingga lama laki-laki itu melakukan hal itu.

“Sudahlah kangmas …. jangan sisakan kenangan jelek itu. Optimislah….” kata Kyai Haji Mukhlis Abas sambil menggandeng pundak Sang Kyai .

“Ya….” Kata Sang Kyai.

Tengah malam jalan kecil menuju rumah Wak Wardan begitu gelap. Rumah yang terpisah dari rumah-rumah penduduk lain tampak dari jauh. Tempat itu hanya ditandai dengana bersinarnya lampu dlepak kecil.

Sampai di pekarangan dekat rumah, rombongan berhenti.

“Sepertinya di belakang rumah ada orang?” tanya Kyai Haji Soleh Darajat kepada santrinya.

“Itu kandang sapi Pak Kyai. Mungkin Wak Wardan sedang memberi makan sapi-sapinya.”

“Malam-malam begini? Jangan-jangan pencuri.”

“Mudah-mudahan bukan Pak Kyai, menurut kata orang, semenjak pesantren berdiri, di Widodaren tak ada lagi kasus pencurian.”

“Oooo bagus kalau begitu.”

“Karena sawab pesantren juga …. “

“Iya syukurlah. Saya panggil dia, sebentar…. waaak…..Wak Wardan …. Itukah si Uwak?” Tanya Kyai Haji Soleh Darajat.

“Siapa itu?” ternyata yang terdengar suarau perempuan.

“Wow… itu suara si Nini, Ni Wak.”

“Itu si Nini ya?”

“Iya. Siapa di situ?”

“Kami dari pesantren Niii…”

“Pesantren? Kurang ajar! Mau apa lagi kalian kemari he! Tidak puas kalian menyiduk suamiku? Kalian tahu apa akibatnya?”

“Apa?”

“Ya ini, ngasih makan sapi malam-malam.”

“Memangnya si Uwak ke mana Ni?”

“Kemana kemana bagaimana sih? Kan suamiku tadi pagi kalian ciduk. Sekarang juga masih disekap di pesantren kan?” kata Ni Wak Wardan sambil mendekati rombongan yang datang.

“Suami si Nini sudah pulang.”

“Pulang?”

“Ya iyalaah …sekarang coba cari di dalam Ni!”

Tak menunggu lama perempuan tua itu masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian terdengar ramai-ramai di dalam. Dari dalam tiba-tiba keluar Wak Wardan Wardan yang dikejar-kejar istrinya.

“Sini kau! Dasar laki-laki tidak berguna!” maki istri Wak Wardan . Yang dimaki hanya bisa menjauh.

“Sudahlah …. kamu ini tidak senang ya ada orang senang.” kata Wak Wardan menimpali.

“Kamu ini sudah enak-enak di pesantren malah pulang lagi!”

“Enak apa?”

“Ya enak, kan yang ngurus sapi aku. Eh pulang-pulang kamu malah enak-enak molor!”

“Sudahlah Niiii…. Wak, ini ada Sang Kyai datang ke sini….. “ kata Kyai Haji Soleh Darajat kepada mereka. Wak Wardan dan istrinya memandang ke arah Sang Kyai yang hanya diterangi lampu dlepak seadanya.

“Sang Kyai ke sini? Benarkah? Mana?” tanya Ni Wak Wardan seraya mendekat ke arah orang yang ditunjuk,suasana memang samar.

“Ini. Ini benar Sang Kyai.” kata Kyai Haji Soleh Darajat.

“Waaahh …. bukan, ini bukan Sang Kyai. Sang Kyai itu wajahnya tidak seperti ini. Sang Kyai itu orangnya galak, anak buahnya galak. Kemarin juga suamiku digampar mukanya. Ini mah mukanya lembut, bercahaya, tenang…. “

“Ni, ini Sang Kyai. Wak Wardan, kita bicara sebentar di bangku itu.”

“Mau menangkap lagi silakan!”

“Bukan Wak Wardan …. Sang Kyai ke sini itu mau minta maaf atas kejadian bertahun-tahun silam.”

“Di sini sajalah ….. di sini atau di sana sama-sama tidak nyaman. Mau apa Sang Kyai?”

“Minta maaf.”

“Minta maaf? Bukannya yang memukulku itu santri dan Kyai Soleh?”

“Ini kita tak bicara masalah pukul memukul.”

“Masalah apalagi? Kuburan kucing sudah beres. Apalagi?”

“Waaakk… minumlah ini…… “ tanpa diketahui oleh yang lain mulainya dari, ternyata Sang Kyai menyaku air bening. Demi melihat Sang Kyai menyodorkan air, Wak Wardan mundur.

“Apa-apaan ini? Ini racun?”

“Ya Allah Wak, ini air dari Sang Kyai.”

“Untuk siapa?”

“Untuk Wak, nanti Insya Allah hati uwak tenang, pikiran uwak jernih, serta apa yang dulu pernah Wak Wardan ingat, Insya Allah sekarang mbalik lagi.” Kata Sang Kyai pada Wak Wardan sambil mengulurkan tangan. Wak Wardan kaget ketika Sang Kyai mengajak salaman.

“Apa-apaan?” tanyanya curiga.

“Tadi Sang Kyai pingsan si Uwak tahu?”

“Tahu.”

“Kau tahu apa penyebabnya?”

“Mungkin jantungan. Tapi mungkin juga pura-pura.”

“Astaghfirullah….. tak ada yang pura-pura Wak Wardan, Sang Kyai benar-benar pingsan. Sekarang Sang Kyai ke sini mau menyelesaikan masalah.”

“Masalah surau?”

“Yaaa itulah….”

“Sudah menjadi bubur, telanjur. Surau sudah tak ada lagi. Tak ada lagi amal jariyahku, kusen yang saya buat telah hancur, hilang. Jadi untuk apa berharap-harap. Sudahlaahhhh….. “

“Tidak begitu Wak Wardan ….. saya Ahmad Soderi, akan memberi jalan amal jariyah yang baru untuk Uwak.”

“Apa?”

“Bagian selatan pawudon masjid An Najm akan dibongkar.Yang pasti akan diganti. Di pawudon itu setiap hari puluhan santri masuk, sehari berapa, kali berapa kali, sebulan berapa kali, setahun berapa….. Uwak bisa menghitung sendiri. ”

“Yaaa….. banyak sekali.”

“An Najm adalah penjelmaan surau yang hilang Wak.”

“Benarkah?”

“Iya, pasti. Maka jariyah dengan kusen surau dulu, tentu sama saja nilainya dengan kusen di bagian masjid An Najm.”

“Yaa….yaaa……”

“Kalau pawodon itu direhab, mungkin Wak Wardan punya sesuatu untuk disumbangkan sehingga menjadi amal jariyah?”

“Aaaahh….Niniiii…… bolehkah kusen yang dipinggir timur itu untuk mbangun pawudon di pesantren?” tanya Wak Wardan pada istrinya.

“Ada ganjarannya?”

“Banyak Ni, tiap hari ratusan santri menggunakan tempat itu, selalu memberikan ganjaran bagi siapa yang menyumbangnya.”

“Ya sudah biar saja. Kita saja mau mbuat rumah kapan? Keburu kita mati ya Ki… daripada mati duluan…..”

“Yaaa kalau urusan meninggal itu urusan Allah Ni…” kata Sang Kyai yang mulai menunjukkan keceriaan di wajahnya, “….. bukankah di antara manusia banyak juga yang usianya delapan puluh, sembilan puluh, bahkan seratus tahun.”

“Ya…ya….. kami sumbangkan bakal kusen rumah …tuuh ada di wetan, bahannya dari kayu nangka, lumayan kuat….”

“Benar Wak?” tanya Sang Kyai meyakinkan.

“Iya…..”

“Maafkan saya Waaaakk…..”

Kata Sang Kyai sambil memeluk laki-laki tua yang kini wajahnya penuh keceriaan karena akan mendapat ganti jalan jariyahnya. Kyai Haji Mukhlis Abas menghela nafas. Kyai Kedungjati itu memuji kecerdasan sahabatnya.

Air mata Sang Kyai berlinang. Dilepasnya Wak Wardan perlahan. Disodorkannya kembali air dalam botol. Laki-laki tua menerimanya, bahkan kemudian langsung diminumnya. Sang Kyai terharu. ***

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.Sugeng rawuuuh… = Selamat dataang …

2.Nyambangi = mengunjungi

3.Semanger = semarak indah

4.koyo orong-orong kepidak. Mak cep! Terus meneng = Seperti anjing tanah terinjak, hep, terus diam. Orong-orong = Gaang (bahasa sunda), binatang mirip jangkrik yang membuat jalan dengan menggali tanah, sambil berbunyi, biasanya di waktu menjelang maghrib.

5.waleh-waleh punapa = terus terang saja

6.nemu beka = mendapat masalah / cobaan

7.Kasinggihan = inggih = iya, ya

8.Aleman = manja

9.lampu dlepak = lampu minyak goreng (bukan minyak tanah) dengan sumbu kain

Bersambung ke Seri 21

Insya Alah  Rabu mendatang ..................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun