Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen : Pelarian Gang Dolly

30 Juni 2014   04:12 Diperbarui: 16 September 2018   22:28 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sejak lokalisasi Dolly ditutup, migraine Raeni sering kambuh. Kemarin seharian wanita itu tergolek di kamar sewaan, jauh dari kota Surabaya. Ia mendengar kabar tentang status teman-temannya sekarang. Banyak pilihan dan ragam yang dilakukan anak-anak Dolly. Ada yang mengambil pesangon sebagai modal usaha, ada yang mengambil pesangon untuk foya-foya dan mabuk-mabukan, ada yang menggunakan pesangon sebagai uang pangkal kordinator membuka usaha grup prostitusi terselubung di tempat baru. Ada yang menerima pesangon, kemudian menyewa kamar di tempat tertentu, tetapi masih membuka jasa prostitusi secara sendiri-sendiri. Ada yang menjadi perempuan panggilan. Ada yang memilih menjadi gundiknya cukong.

Sebagian lagi memandang keputusan Bu Risma sebagai sebuah momen tepat jalan keluar dari tempat itu. Jika dulu-dulu Raeni ingin keluar tidak berani, sekarang mumpung ada kebijakan resmi, ia gunakan untuk segera memanfaatkan peluang itu. Sejak lama hati kecilnya ingin melepaskan diri dari kehidupan lingkungan gang Dolly, namun banyak pertimbangan. Sungkan dengan mama-nya, tidak enak dengan teman-temannya, malu disebut sok sucilah, takut dengan bodyguard mama-nya, dan lain-lain.

Ketika teman-temannya menjadi bercerai berai, perempuan itu merasa punya kesempatan. Bahkan ia sendiri waktu itu menyelinap meninggalkan gang itu. Uang kompensasi yang dijanjikan sama sekali tak terpikir olehnya. Yang penting adalah lari, jauh yang sejauh-jauhnya. Keinginan hatinyapun sebenarnya ingin pula membuang jauh-jauh pengalaman hidupnya, namun selama pikirannya masih normal, gang Dolly dengan sejuta ceritanya tak akan bisa dihapus dalam pikirannya hingga akhir hayat.

Hmh…….

Raeni mendesah. Matanya dibuka perlahan dengan berat. Perempuan itu kaget melihat Artiti, anaknya, duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Gadis kecil yang masih duduk di kelas 2 SD hanya bisa menatap ibunya dengan air mata berlinang. Perlahan Raeni melihat anaknya. Ia memberi isyarat kepada gadis kecil itu agar mendekat. Artiti mendekat. Perempuan itu memeluk anaknya.

“Kenapa menangis sayang?” tanya Raeni perlahan.

“Lapar Bu… “

“Ochhh… astaghfirullloh!” Raeni kaget. Pelukan pada anaknya dikendorkan. Ia pandangi mata anaknya sambil memegang bahunya. Air mata Raeni mengembang.

“Maafkan Ibu ya ….. ibu lupa, ibu ketiduran. Kenapa tidak bangunkan ibu sayang?”

“Kasihan ibu. Ibu sakit.”

“Titi …… “ air mata Raeni kini menderas. Gadis kecil itu dipeluknya kembali.

Beberapa saat kemudian setelah isaknya mereda, Raeni melonggarkan pelukannya. Perempuan itu mengambil dompet. Ia ambil lembaran lima ribuan diberikannya kepada Artiti.

 “Titi beli sendiri ya? Nasi uduk , atau apa saja yang mengenyangkan. Ibu masih sedikit pusing….”

“Ya bu …..”

Sepeninggal anaknya, Raeni termenung. Uang di dompetnya tinggal empat puluh ribu. Ia bingung dari mana unuk menyambung hidup berikutnya. Kehidupan di gang Dolly telah memberikan kebiasaan mendapatkan uang dengan mudah. Ketika Bu Risma telah memutuskan menghentikan kegiatan gang tersebut, banyak hal yang muncul sebagai sebuah efek. Termasuk yang dialami Raeni, salah satunya.

Perlahan Raeni bangkit dari pembaringan. Kepalanya terasa sakit dan berat. Matanya sembab dan perih. Namun beban yang ditanggungnya lebih besar dibanding apa yang dirasakan fisiknya. Hanya ada satu motivasi yang selama ini untuk bertahan dengan keadaanya, anaknya, ia tak ingin anaknya terlantar. Jika toh apa yang dilakukannya dosa, ia siap menanggung akibat dosa itu demi anaknya. Sampai saat ini memang belum ada pilihan lain. Ajakan dari orang tuanya untuk kembali ke Tambak Lorok belum disanggupinya. Ia malu pulang kampung. Semua telah terlanjur mengenal dirinya sebagai wanita gang Dolly.

Sekitar enam bulan yang lalu, sebelum penutupan lokalisasi.

Seorang laki-laki bernama Rotama, datang ke gang Dolly menemui dirinya. Tadinya ia mau mengelak, namun ia tak kuasa karena mami-nya mengisyaratkan agar dirinya tidak protes. Rotama adalah laki-laki yang dulu pernah membuat dunia ini menjadi indah. Laki-laki yang pertama menyatakan cinta dalam hidupnya. Bagi Raeni, Rotama adalah segalanya. Tempat bergantung. Tempat berharap. Tempat menikmati keindahan. Hingga tak disadarinya keindahan yang dinikmati itu akan membawa cerita panjang, ia hamil. Rotama yang dulu dipujanya ternyata tak lebih dari buaya, nilai Raeni. Laki-laki itu tak mau bertanggung jawab dengan menikahinya. Raeni memilih minggat, membawa kandungan mudanya. Hingga dengan perantaraan teman, ia menjadi penghuni gang Dolly. Artiti, anaknyapun lahir di sana.

Hari itu Rotama ada di hadapannya, di kamarnya.

“Silakan lakukan apa saja padaku. Ingin bernostalgia silakan. Kamu masuk ke sini membayar ke mama untuk menikmati aku. Silakan, jangan sungkan-sungkan…..” kata Raeni demi melihat Rotama hanya duduk di hadapannya.

“Tidak Rae, aku ke sini tidak mau membelimu. Aku membayar ke ibu yang di depan hanyalah untuk tiket masuk. Aku ke sini dengan niat suci….”

“Apa? Hihihi…. niat suci? Sejak kapan kamu menjadi baik Tama?”

“Sejak aku ingat anakku. Aku ingin ketemu anakku… di mana dia?”

“Tidak. Aku tidak ingin anakku berfikiran kotor tentangmu.”

“Aeh, Rae! Jika dewasa, mau menikah, nanti dia butuh wali.”

“Dari mana kau tahu anakku perempuan?”

“Orang yang niatnya kuat, apa saja pasti ditempuh untuk mencari keterangan.”

“Okelaaah …. tapi anakku tidak butuh wali dari orang sepertimu!”

“Tapi aku ayahnya.”

“Terserah. Dengan wali hakim beres.”

"Ndak bisa!"

"Secara agama, kamu tak punya hak sebagai wali. Urusan wali gampang!"

“Tapi kalau aku masih ada?”

“Katakan saja ayahnya sudah mati!”

“Kamu berdosa membohongi anakmu sendiri Rae!”

“Dosa? Kamu masih tidak malu bicara tentang dosa hah?”

“Sudahlah Rae, ayolah ………. , tinggalkan tempat ini, bersamaku…..”

“Laki-laki yang masuk ke sini adalah untuk memperoleh pelayananku. Bukan untuk ngobrol tak jelas.”

“Rae, aku mengajakmu menikah. Itu sangat jelas. Kamu segera tinggalkan tempat penuh dosa ini….” Pinta Rotama.

“Sok suci kamu! Kau katakan tempat ini apa? Penuh dosa?”

“Iya kan?”

“Okelah, terserah apa katamu Tama, menurutmu aku memang bergelimang dosa. Tapi ingat Tama, paling tidak harga diri aku masih punya!”

“Harga diri yang mana?”

“Paling tidak harga diriku lebih tinggi dari kamu!”

“Aaahh… mana mungkin!”

“Tama, kamu yang datang ke sini! Kamu yang butuh aku! Harga diriku lebih tinggi dari kamu. Aku tidak butuh kamu! Kalau kamu masih punya pikiran waras bicara tentang dosa, siapa sebenarnya yang dosanya lebih besar antara aku dan kamu. Kamulah penyebab pertama hingga aku seperti sekarang ….”

“Makanya aku mengajakmu menikah! Aku ingin menebus kesalahan.”

“Tak perlu kau tebus Tama. Kau nikmati saja kesalahan jika kamu masih waras hingga mengerti apa itu kesalahan! Biarkan aku tetap dengan jalanku, biar orang lain mengatakan aku ini salah!”

“Aku mohon Rae…”

“Mengemislah Tama!”

“Di mana anak kita dulu?”

“Anak yang mana? Jangan sebut kata kita. Kamu keluar sekarang!”

“Aku ingin mengangkat derajatmu Rae….. menikahlah denganku….. ayolah Rae!”

“Orang sepertimu masih mengira punya derajat hingga sok baik mau mengangkat derajat orang lain? Hahaaa! Tamaaaaa…. Tamaaa mimpi kamu! Keluarlah dari tempat penuh dosa ini ….., tempat yang tidak layak untukmu manusia baik sepertimu!”

Akhirnya Rotama keluar kamar.

Laki-laki itu gontai melangkah meninggalkan Raeni. Beberapa sekon perempuan itu mencoba mengamati punggung Rotama. Air matanya mengembang di pelupuk matanya. Ia membayangkan jika laki-laki itu adalah laki-laki yang bertanggungjawab. Alangkah bahagianya Artiti, anaknya dari laki-laki itu.Tak urung juga air mata Raeni menetes.

Dulu, di saat-saat keindahan masih dirasakan, keduanya sering menyewa perahu dari pantai Tambak Lorok ke arah tanggul di tengah laut. Di tanggul yang dipenuhi dengan para pemancing, keduanya hanya meletakkan joran dan umpan. Raeni duduk menggelar tikar kecil, sementara Rotama mengembangkan payung. Di saat-saat seperti itulah, Raeni merasakan bahwa laut lepas di hadapannya adalah saksi bahwa cinta mereka akan abadi.

Selain teluk Tambak Lorok, keduanya sering melancong pula ke Kopeng, atau ke mana saja di sepanjang dataran tinggi dari Ungaran ke arah Salatiga. Bahkan sesekali perjalanan berlanjut hingga ke Kaliurang. Tak sekali dua kali keduanya sampai menginap di mana saja. Pandangan mata Rotama bagi Raeni adalah pandangan yang menyejukkan. Ia merasa terlindungi di pelukan cintanya. Hingga akhirnya pergaulan yang melenakan dirinya, membawa dirinya ke saat-saat ia tak memiliki sesuatu lagi yang bisa dibanggakan. Yang menyebabkan dirinya menjdi gamang menjalani hidup adalah ketika Rotama meninggalkan dirinya.

Raeni hamil. Perempuan itu menyampaikan kepada Rotama, namun Raeni marah bukan kepalang ketika Rotama menggeleng.

“Kamu tidak mengakui ini anakmu?”

“Bukan masalah itu! Ternyata kamu perempuan murahan!”

Plak! Tangan Raeni menyambar pipi Rotama.

“Apa katamu? Murahan?! Enak saja kamu mengatakan itu!”

“Perempuan yang kuat imannya adalah perempuan yang mampu menahan godaan laki-laki! Tidak seperti kamu!”

“Tama!”

“Mungkin saja jika tidak denganku kamupun akan melakukan hal ini! Pasrah pada laki-laki!”

Raeni tak sanggup mengeluarkan kata-kata di depan Rotama. Raeni yang sudah bukan gadis lagi berlari meninggalkan Rotama. Laki-laki itu hanya tersenyum memandang Raeni yang semakin jauh.

Hancur hati Raeni. Ia tak berani mengatakan yang sesungguhnya kepada kedua orang tuanya. Ia kasihan jika orang tuanya menanggung malu akibat perbuatannya. Akhirnya Raeni memilih mengontak sahabatnya, yang membawanya terdampar di kota Surabaya.

 

 

***

Siang itu Artiti belum pulang membeli makanan.

Raeni yang sendirian di rumah mencoba dengan tertatih-tatih mencari minuman. Sebutir obat sakit kepala ia telan. Ia berharap migraine yang dideritanya hilang. Setelah itu mencoba ke luar ruangan di samping rumah utama. Kamar yang terpisah inilah yang ia tempati sebagai peneduhan sementara.

“Rae!” Belum lagi ia membuka secara penuh, ada yang berteriak di hadapannya. Raeni kaget.

“Tama! Ada perlu apa ke sini?”

“Raeni, sabar ….. dengarkan dulu kata-kataku. Berita tentang penutupan gang Dolly yang membuatku melacakmu ke sini.”

“Apa urusanmu dengan Dolly?”

“Karena ada kamu Rae. Boleh aku duduk?” Tanya Rotama sambil menunjuk kursi di depan ruangan.

“Duduklah.”

“Terima kasih Rae.”

Rotama duduk. Raeni pun akhirnya terpaksa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat.

“Ada apa kamu datang ke sini?"

“Kamu tidak sehat Rae?” Rotama balik bertanya.

“Bukan urusanmu. Ada perlu apa datang ke sini?”

“Aku prihatin atas penutupan Dolly oleh Bu Risma.”

“Oooo kenapa rupanya?”

“Emm…. tidak, tidak tahu.”

“Kamu ini aneh Tama, setengah tahun lalu kamu mengajakku keluar dari Dolly, sekarang Dolly ditutup kamu malah prihatin. Jangan-jangan pikiranmu sedang kacau.”

“Eee…. eeee …. anu, maaf.”

“Jangan-jangan kamu prihatin karena sekitar seribu limaratus PSK kehilangan pencaharian, para germo kehilangan anak buah, para bodyguard kehilangan wilayah, para penjaja obat blingsatan, para laki-laki hidung belang kelihangan tempat rekreasi! Begitu?! Katakan saja begitu!” kata Raeni berteriak sambil berdiri.

“Maaf Rae, bukan, bukan itu. Ini tak ada hubungannya antara Walikota, Dolly dengan aku. Aku hanya prihatin dengan keadaanmu.”

“Prihatin kenapa?”

“Aku kasihan padamu Rae, pada anak kita ….. “

“Kamu ulangi kata-katamu itu lagi? Ingat Tama, aku perempuan mandiri. Aku tidak cengeng.”

“Aku punya usaha yang maju. Kita bisa hidup tenang.”

“Apa urusanya denganku? Majulah usahamu. Hiduplah kamu yang tenang …..”

“Tapi aku ingin denganmu.”

“Agar ada kekeset? Agar kau merasa di atas diriku. Dulu saja kau begitu tak menghargaiku, apalagi sekarang.”

“Aku menghargaimu.”

“Aku tak akan pernah percaya.”

“Aku punya usaha di Sukabumi. Jauh dari kampung kita di Tambak Lorok. Tak ada orang yang tahu bahwa kau adalah …… adalah …… “

“Adalah apa?”

“Ngggg…… nggg….. emm maaf… tidak Rae. Jangan kau sudutkan aku seperti itu.”

“Sebut saja aku ini pelacur! Yang pernah kau sebut perempuan murahan!”

“Tidak Rae….”

“Sekarang kau pergi dari sini! Bawa niat baikmu ke Sukabumi, masih banyak perempuan baik-baik, buat kamu laki-laki yang baik! Jangan ganggu hidupku, pergiiiii!”

“Rae…… tak adakah kata maaf sedikitpun dalam hatimu.”

“Belum saat ini.”

“Kapan Rae?”

“Pergilah Tamaa… pergi…. pergiiiiii!” Raeni berteriak keras.

Tak urung laki-laki itu menggeleng. Perlahan laki-laki itu pergi dengan gontai. Teras gazebo kamar sewaan Raeni kembali lengang. Perempuan itu menjatuhkan pantatnya di kursi. Keringat dingin membasahi dahinya. Pening di kepalanya semakin menjadi. Ia memejamkan matanya.

Bayangan Rotama berkelebat. Laki-laki itu tersenyum. Tapi ia memandangnya sebagai sebuah senyuman culas. Ia tidak yakin laki-laki itu dengan tulus mengajaknya menikah. Namun kadang-kadang ia berfikir akan bagaimana hidupnya kelak, serta bagaimana Artiti kelak. Kadang-kadang ia mencoba menegarkan hati tatkala melihat keluarga-keluarga yang berbahagia. Namun ia cepat-cepat mengibaskan khayalannya, karena yang dihadapi saat ini adalah realita.

“Ibuuu…… “ tiba-tiba Raeni dibangunkan dari pejaman matanya oleh teriakan Artiti yang dating membawa nasi bungkus.

“Oooh .. apa sayang? Kok nasinya dibawa pulang?”

“Titi ingin makan di rumah saja, bareng ibu.”

“Ooo …. iya, iya boleh …. ayo masuk. Kita makan di dalam.” ajak Raeni sambil menuntun anaknya.

“Ibu.. tadi di sana ada bapak-bapak termenung melihat ke rumah ini terus, ibu kenal?” tiba-tiba anaknya bertanya. Raeni terhenyak.

“Bapak-bapak yang mana?”

“Jaket merah. Tuh tadi setelah lama melihat ke sini, jalan ke ujung gang….”

“Jaket merah? Bawa tas kecil?”

“Iya benar. Ibu kenal?”

“Oooo tidak, Mungkin orang minta-minta…. sudahlah…. ayo makan.”

Artiti tak menggubris lagi perkataan ibunya. Raeni sendiri memastikan bahwa itu adalah Rotama, ayah Artiti. Namun perempuan itu tak memperpanjang angan-angannya, ia menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Walaupun ia juga ragu, apakah Tuhan masih mendengar pintanya sebagai seorang perempuan semacam dirinya.

***

Jauh di ujung gang.

Rotama yang gontai menuju sebuah MPV yang menunggu. Di dalamnya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan. Keduanya melihat Rotama dengan serius.

“Bagaimana Rot?” tanya si perempuan ketika Rotama telah masuk ke dalam mobil.

“Gagal.”

“Hahaaa! Gagal! Kena batunya kau sekarang! Dua kali kamu mencoba meyakinkan bekas pacarmu itu, tapi gagal.”

“Hhh … sudahlah … ayo jalan!” kata Rotama memberi aba-aba.

“Oke Boss! Kita cari perempuan lain saja. Atau cari perempuan pelarian Dolly yang lain, yang masih mau melanjutkan kegiatannya …. “

Rotama diam.

Laki-laki itu menghela nafas dalam. Laki-laki itu berfikir akan kembali mengejar Raeni di waktu lain, tetapi bukan untuk diserahkan kepada sindikat. Ia sangat mengagumi Raeni yang begitu tegar dan kokoh dalam prinsip dan pendiriannya.

“Aku terlambat mengagumimu Raeni ……” gumam Rotama sambil melihat ke luar jendela.***

Yogyakarta,

 Minggu, 29 Juni 2014

 

 

 Cerpen ini telah dianalisis oleh salah satu penggemar cerpen .

Lihat analisisnya di  http://tulismenulis.com/analisis-cerpen-pelarian-gang-dolly-karya-didik-sedyadi-berdasarkan-teori-strukturalisme/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun