Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pilpahit: Teori Hanya di Kelas

16 Agustus 2014   02:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik




Orang Inggris mengatakan “Time is Money!” . Kyai Guplo, orang kampung, menimpali pernyataan si Inggris , katanya “Selesaikan semua masalah dengan uang!”. Tentu saja jamaahnya protes, masa kyai pikirannya seperti itu. Tetapi pernyataan sang Kyai punya alasan. Katanya bahwa Waktu Adalah Uang hanyalah terjemahan untuk konsumsi anak sekolah di kelas. Di luar kelas hampir tak ada jasa yang diberikan tanpa imbalan uang. Minta tolong ini, memberi upah. Minta tolong itu, memberi rokok. Menawarkan jasa agar ini agar itu, harus ada penghargaan. Berarti analisis Kyai Guplo benar. Biarpun dia seorang kyai tajug yang sepi, pikirannya progresif pula. Namun kadang masih ada kelompok yang menamakan dirinya moralis menolak, urusan imbal jasa adalah hal yang wajar di jaman sekarang.

“Itulah ulah si Inggris! Secara perlahan namun pasti, kalimat time is money telah mengubah peta negara yang dulunya hijau, menjadi abu-abu!”

Suatu kali selepas shalat ‘Isya, Pak Guru Dwija bersantai di beranda tajug dengan Kyai Guplo. Sang kyai menawari rokok kepada Pak Guru, namun ditolaknya dengan halus. Guru senior yang bertetangga dengan sang Kyai itu mengamati betapa tetangganya itu menikmati benar asap rokok.

“Pak Guru …… melihat berita di TV ngeri juga ya. Kasihan anak-anak sekolah gemar tawuran, narkoba, sex bebas. Apa di sekolah tidak ada pelajaran tentang akhlak?” Tanya sang Kyai seperti memercikkan bara ke dalam tumpukan jerami.

“Oooo ya tentu ada!”

“Tapi mengapa banyak anak-anak yang kelakuannya seperti itu?”

“Yaaahhh…. Sang Kyai lupa pernyataan sendiri ya?”

“Ooow? Yang mana ya?”

“Kata sang Kyai, time is money sama dengan waktu adalah uang, hanyalah terjemahan di kelas. Di luar kelas, manusia-manusia dewasa menerapkan menyelesaikan segala sesuatu dengan uang.”

“Hmmm, jelasnya?”

“Pendidikan karakter di kelas ya untuk di kelas! Kejujuran, saling menghargai, dan sebagainya, hanyalah pelajaran. Di luar kelas dibeberkan secara gamblang, di koran, di televisi, dan media massa lainnya, berita tentang orang-orang tua yang selingkuh, brutal, menang sendiri, korupsi, menipu, kongkalikong. Baik yang ada di kampung-kampung, hingga yang di pusat sana! Apa itu bukan lebih mujarab bagi anak-anak kita? Pak Kyai, contoh itu lebih manjur dibanding nasehat. Seberapapun gencarnya pendidikan karakter di kelas, masih tetap kalah dengan buktinegatif di lapangan. Ditambah lagi acara-acara tontonan di televisi, apa sih yang berbobot? Acara selingkuh artis, KDRT artis, perceraian artis, dagelan-dagelan tak bermutu dan tak mendidik, sinetron-sinetron tahyul, horror….. Di kanan kiri kita membanjirnya produk nina bobo game - melalui alat-alat elektronika lebih ditekuni para siswa daripada belajar. Belajar hanya sebuah kewajiban administratif, untuk mendapatkan ijazah. Ini adalah bukti bahwa pendidikan karakter di sekolah tidak akan menang dan mampu memberi warna kepada anak didik kita. No way! Jangan harap!”

“Wah Pak Guru, kalau itu benarberarti ….. gawat, gawaaaat……”

“Gawat memang, namun banyak pihak yang menyalahkan guru terkait gagalnya pendidikan karakter. Enak saja! Yang memberi contoh korupsi ratusan juga bukan guru, manipulasi ratusan juta bukan guru, tahanan yang bebas piknik itu bukan guru, yang punya proyek di tiap daerah bukan guru. Yang suka bercanda saling hina dengan olok-olok murahan di TV, bukan guru. Yang suka joged-joged di TV, bukan guru. Yang disiarkan TV ketika ruang sidang terhormat kosong, bukan guru pelakunya. Lalu , mengapa guru yang dipersalahkan?”

“Memang guru gak ada salahnya ya Pak?”

“Heheheee…. Jadi malu aku!"

"Ada salahnya nggak?"

"Heheee ..... ada. Guru juga ada salahnya. Sedekeeet!"

"Misalnya?"

"Guru jarang masuk kelas. Guru datang ke sekolah tapi ngobrol di kantor. Guru masuk ke kelas sebentar terus keluar lagi tidak pulang-pulang. Tugas anak tidak dikoreksi, tapi anak wajib membeli LKS hahaha!”

“Wuah, wuah! Itu guru di tempat Pak Dwija ya?”

“Bukaaaan…. Itu di luar negeri kok.”

“Luar negerinya Timor Leste ya?”

“Kita doong? Gini Pak Kyai, guru di kita sudah sangat bagus mutunya. Total tunjangan sertifikasi plus gaji sebulan sudah sekitar enam jutaan lho …… bagus-bagus kok mengajarnya! Rencana mengajar di RPP juga sangat lengkap. Yang lengkap. Yakin, anak-anak senang dengan mutu guru yang demikian!”

"Teori ya?"

"Heheee....."

Karena ketakutan Pak Kyai bertanya yang lebih jauh, Pak Guru Dwija pura-pura mau ke air dulu. Padahal aslinya tidak ingin cerita tentang guru di sekolahnya dikorek-korek Kyai Guplo. Takutnya nanti kalau dilaporkan ke Tuhan oleh Kyai Guplo, dan kalau Tuhan marah? Mau bagaimana guru ini?

Untunglah Tuhan milik bersama, juga milik guru. Artinya, kalau Pak Kyai melaporkan yang bukan-bukan tentang guru, para guru bisa berargumen. Hehe, asalkan bukan berkilah saja, atau mencari legitimasi dari kesalahan yang dibuat. ***

Majalengka, 15 Agustus 2014



Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun