Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Warisan

22 Agustus 2014   03:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:54 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lebaran kemarin Yanto tidak sempat pulang lebaran ke kampung. Ia mengambil shift teman-temannya yang lain. Lumayan, dengan bonus yang berlebih ia kesampingkan sedikit rasa rindu kampung halaman, untuk mengunjungi orang tua yang tinggal satu, yakni emaknya. Ada satu lagi adik perempuannya, Sumirah, ia dibawa suaminya ke Banjarnegara.

Tiga minggu setelah lebaran laki-laki itu pulang bersama anak laki-lakinya. Mereka sama sekali tak mempedulikan belajar, sebab Joni, anak laki-lakinya menjadi anak jalanan yang memilih tak sekolah. Bagi anak laki-laki usia SMP ini justru hafal time is money. Buat apa sekolah kalau tak punya uang, toh mereka yang sekolah tinggi-tinggi juga untuk mencari uang. Kalau bisa dicari sekarang, kenapa menunggu sampai nanti? Begitu prinsip yang ditanamkan Yanto kepada anak laki-lakinya.

“Kamu tidak sekolah Jon?” tanya sang nenek ketika mereka sudah beristirahat sekedarnya.

“Ya sekolah nek, sekolah kan untuk masa depan. Cuti nek. Di Jakarta sekolah itu bebas nek, cuti mau sehari, dua hari, atau berapapun diijinkan.” kata Joni berbohong. Ini prinsip lain yang didapatnya dari ayahanya.

“Oooo benarkah itu? Memang cita-cita Joni apa ya?”

“Penyanyi. Setiap hari saya berlatih menyanyi.”

“Oooo bagus dong. Mudah-mudahan nanti menjadi penyanyi terkenal seperti Waljinah, atau Mus Mulyadi.”

“Siapa Waljinah Nek?”

“Penyanyi kroncong yang kondang.”

“Kondang? Kok aku tidak tahu Nek?”

“Ayahmu ndak pernah cerita?”

“Ayah selalu sibuk dengan kegiatannya. Kalau Mus Mulyadi siapa?”

“Sama, penyanyi keroncong jaman nenek kecil hingga remaja….”

“Wuaaaah nenek ini bagaimana sih. Itu penyanyi jaman nenek kecil, Joni mana tahu? Joni tahunya Agnez Mo, Ashanty, Mulan Jameela.”

“Siapa itu?”

“Ya penyannyi jaman Joni kecil laaah.”

“Lah sekarang bukannya Joni masih kecil?”

“Tuuuuh kan nenek ketika masih kecil, Joni juga tidak tahu siapa Mus Mulyadi. Sekarang nenek juga tidak tahu penyanyi jaman Joni kan?”

Sedang asyik keduanya ngobrol, Yanto nimbrung duduk di dekat mereka berdua.

“Eh mak, tuh nyebut-nyebut nama Mulyadi, Mulyadi siapa?”

“Penyanyi Pak, penyanyi jaman nenek kecil.” jawab Joni.

“Oooo yaaa…. yaaa… eh Mak, ngomong-ngomong Mulyadi anak Pak Karman sekarang masih ada? Besok pagi kepingin ketemu ah, kepingin mincing bareng lagi di kali Soso.”

“Mulyadi temanmu itu?”

“Iya.”

“Dia sudah pindah …. kira-kira lima bulan yang lalu. Dia sudah membangun rumah di blok sembilan.”

“Mbangun rumah? Hebat dong.”

“Nasib baik si Mulyadi itu.”

“Tapi agak aneh juga, bukannya dia masih jadi calo angkot di pertigaan Serang?”

“Ya masih. Tapi dia dapat warisan dari orang tuanya.”

Warisan?”

“Ya warisan.”

“Orang tuanya sudah meninggal?”

“Baru sebelah sih. Hanya karena ayah si Mulyadi itu tidak mau nanti anak-anaknya cekcok rebutan warisan, makanya walaupun masih hidup harta orang tuanya langsung dibagi-bagi. Ya si Mulyadi itu katanya dapat warisan berapa ya? Tadinya tanah sih, hanya diuangkan, ia dapat hampir seratus juta.”

“Besar sekali?”

“Orang tuanya memang pandai menyimpan rahasia. Anak-anaknya tadinya tidak ada yang tahu kalau orang tua mereka punya simpanan kebun yang lumayan luas di pinggir jalan besar di Gandasuli itu.”

“Oooo…..”

“Kamu tahu sendiri kan Gandasuli? Jalurnya jalur Pemalang – Purwokerto, jalur utama, harga per meternya sudah tujuhratus ribuan.”

“Ya ampuuuuunnn….. “

Yanto menelan ludah. Mulyadi adalah teman sepermainan sejak kecil. Tahu belang belonteng temannya itu. Hingga beranjak remaja pun ia tahu kerja serabutan sebagai calon di pertigaan Serang. Bedanya Yanto tak tahan dengan kehidupan yang minim, keadaan orang tuanya yanag memaksa membawanya hidup di Jakarta bersama Darmi istrinya.

Kehidupan di Jakarta yang diawali tanpa modal ketrampilan apa-apa, bersama Darmi harus menerima kenyataan asal dapat uang. Apapun ia kerjakan. Termasuk Joni, anaknya yang ia jejali dengan prinsip-prinsip hidup yang menurut orang normal itu tidak baik.

Joni telah didoktrin bahwa hidup di Jakarta tidak boleh malu. Hidup di Jakarta bagi para perantau tidaklah perlu sekolah. Jika membaca sudah bisa, berbahasa Indonesia sudah bisa, maka itu cukup. Maka ketika kelas tiga SD Joni sudah lancar membaca, Yanto menyuruhnya untuk berhenti sekolah.

Doktrin lainnya adalah bahwa anak jalanan adalah pribadi yang tegar. Pola hidup orang kuat yang tidak cengeng seperti mereka yang merenungi nasib karena tak juga memperoleh pekerjaan. Yang paling diingat Joni, adalah time is money . Waktu harus produktif. Harus menghasilkan. Uang adalah ukurannya. Dan Joni memang telah merasakan nikmatnya mendapatkan uang dari jerih payah sendiri dengan menyanyi di berbagai lokasi sebagai anak jalanan.

Doktrin lainnya adalah, bahwa kepada orang-orang di kampung kita tidak boleh mengatakan apa pekerjaan kita. Jika ada yang bertanya, jawablah kita berwiraswasta. Pulang ke kampung harus tampil beda. Harus gaya orang kota, walaupun tak naik mobil pribadi ataupun mobil rental.

***

Pagi hari Yanto keluar rumah. Ia berkeliling ke bebarapa tetangga yang ditemui untuk sekedar bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Tak jauh-jauh laki-laki itu berkeliling. Sementara itu tadi malam Sumirah, adiknya yang di Banjarnegara akan datang ke rumah, tetapi sore-sorean karena menunggu suaminya pulang kerja dulu.

Usai berkeliling Yanto tak ada niat ke mana-mana. Ia kembali ke rumah emaknya yang kecil sederhana . Rumah tua separo tembok separo kayu dengan lantai tegel jaman dahulu.

“Mirah sekarang enak hidupnya ya Mak? Suaminya punya mobil.”

“Mobil butut.”

“Butut-butut juga kalau seperti itu harganya sampai lima puluh juta lho Mak.”

“Aaah ndak tahulah emak harga mobil.”

“Kebunnya luas Mak.”

“Ya, lumayan buat nanam-nanam sayuran. Kata si Mirah memang tak perlu beli sayuran di warung. Apa-apa ada, suaminya memang rajin kok. Apa-apa tersedia. Yang tidak beli hanya semacam garam, kecap, saos, atau sebangsanya.”

Beberapa jenak Yanto diam. Ada kalimat yang sejak tadi malam ingin diucapkan kepada emaknya, tetapi belum juga bisa dikeluarkan. Makanya ia mencoba mencari jalan pembicaraan agar apa yang menjadi keinginannya terlaksana.

“Maaak…… “

“Hmh?”

“Enak jadi Mulyadi ya Mak, dapat membangun rumah. Di daerah sendiri lagi.”

“Bener To, memang bagus nasib si Mulyadi temanmu itu.”

“Kalau misalnya …… mmmm….. misalnya ini mak…..” agar ragu Yanto untuk memulai kalimat.

“Misalnya apa?”

“Kalau saya mbalik, hidup di kampung, kira-kira bisa nggak ya Mak?”

“Weeehh…. Itu kan keputusanmu. Ya itu terserah, kalau memang mau pulang kampung kemudian mau kerja di sini ya enak malah. Emak ketunggon anak putu . Ketunggon Mirah, ketunggon kamu.”

“Kira-kira aku bisa mbangun rumah kaya Mulyadi nggak ya mak?”

“Ya tergantung tabunganmu. Katanya kerja di Jakarta enak.”

“Aaaah ya ndak begitu mak, enak di sini kaya Mulyadi, jadi calo, tapi punya rumah bagus. Mahal, hampir seratus juta.”

“Oooo … lah dia kan dapat warisan.”

“Naaahhhh… itulah maksudku mak, kira-kira kalau aku mbalik kampung, bisa seperti Mulyadi nggak ya?”

“Maksudnya?”

“Dapat warisan kayak Mulyadi itu.”

Melongo bibir emak Yanto. Perempuan tua itu sama sekali tak mengira anak laki-lakinya mengatakan kalimat yang tak pernah terbayang di otaknya. Rumah yang ditepati hanyalaah segitu-gitunya, tinggalan suaminya, ayah Yanto. Sawah atau kebun tidak punya. Apa yang akan diwariskan kepada anak-anaknya?

“To, emak nggak punya apa-apa…..”

“Mirah hidupnya makmur mak. Dia sering ke sini, menengok emak, pasti emak lebih perhatian pada Mirah.”

“Yanto! Kalau bicara itu sing wening pikiranmu leee….

“Pasti emak telah memberi sesuatu pada Mirah tanpa sepengetahuan saya.”

“Yanto, memberi apa? Emak memberi apa? Emak tak punya apa-apa …. Mirah itu sugih itu karena suaminya memang anak orang kaya. Keluarganya kaya. Jadi dia itu ngibaratnya nempil kemukten. Kamu nggak boleh iri. Kudu nrimo ing pandum.”

“Enak pasti punya punya simpanan seperti orang tua Mulyadi.”

“Oalah Tooo , Tooooo…. Ngelantur kamu ini.”

“Saya nggak ngelantur Mak.”

“Hmhhhh aneh kamu ini. Jadi apa sih keinginanmu ngonong seperti itu?”

‘Warisan mak. Orang tua harus memberikan warisan kepada anak-anaknya.”

“Itu kan kalau ada.”

“Pasti emak punya.”

“Kalau mau rumah, tinggallah di sini. Tapi emak nunut ngeyub, priye?

“Buat apa rumah tua kaya gini! Saya inginnya seperti Mulyadi. Rumah baru.”

“Emak ndak punya apa-apa lagi. Sudahlah, kalau mau, kamu tinggal di rumah ini, perbaiki sedikit. Kalau kamu ndak mau emak tinggal di sini, nggak apa-apa, nanti aku nebeng di Mirah saja, di mBanjarnegara sana.”

“Di mBanjar bukan nebeng mak, memang simpanan emak banyak ya emak kasihkan ke Mirah.”

“To, emak harus ngomong apa lagi.”

“Emak nggak usah ngomong apa-apa, pagi ini saya kembali ke Jakarta. "

"Ke Jakarta?"

"Iya. Kalau emak ada kabar, biar si Mirah telpon aku. Nanti aku ke sini lagi.”

“Kabar apa maksudnya?”

“Warisan!”

“Yanto!”

“Sudahlah mak …..”

Laki-laki itu mencari anaknya yang sedang bermain di samping rumah. Anak laki-lakinya kaget ketika ayahnya mengatakan pagi akan berangkat lagi ke Jakarta. Ketika ditanya kenapa, Yanto justru menghardiknya agar jangan banyak tanya.

Akhirnya niat Yanto tak bisa dihalangi. Perempuan tua itu hanya bisa menangis menghadapi anak laki-lakinya. Tetapi Yanto tak peduli.

“Paling tidak tunggu sampai Mirah datang nanti sore!”

“Nggak perlu!”

Yanto benar-benar kesal atas usahanya yang gagal. Bahkan ketika Joni mau berpamitanpun diseretnya tangan anaknya, agar tidak usah berpamitan. Air mata perempuan tua itu menetes deras menatpi kepergian anak laki-lakinya. Ia sama sekali tak habis piker kenapa Yanto tiba-tiba punya pikiran seperti itu. Sebagai orang tua, kesederhanaan hidup yang diajarkan dulu ia harapkan menjadi bekal anak-anaknya untuk menjadi orang yang sabar, nrimo ing pandum. Memang itu yang dari dulu ia tanamkan dalam diri Yanto dan Sumirah.

Nrimo ing pandum, memang tak ada yang dibanggakan kecuali harus menerima keadaan yang seadanya. Namun nasehat itu tak ada bekasnya dalam jiwa Yanto. Ketika melihat kehidupan Mirah adiknya yang hidup mapan dengan suami yang menurutnya kaya, ia tidak bisa menerima kenyataan.

Sore harinya Mirah dan suaminya datang ke rumah emaknya untuk menemui kakaknya. Namun ia heran melihat rumah emaknya sepi, bahkan ia menemukan emaknya sedang bernaaring dengan mata sembab dan wajah pucat.

“Emak sakit?” tanya anak perempuannya.

“Ndak apa-apa ….. “ jawab perempuan tua itu hampir tak kedengaran.

“Mas Yanto mana?”

“Kembali ke Jakarta lagi.”

“Berangkat lagi? Kapan?”

“Pagi …. pagi tadi.”

“Kenapa Mak?”

Perempuan itu tak menjawab pertanyaan Sumirah. Wajahnya semakin kuyu. Sumirah semakin cemas melihat air mata emaknya membanjir lagi .***

Majalengka, 21-08-2014

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1.Ketunggon anak putu = tertunggui anak cucu

2.Sing wening pikiranmu leee… = Yanga bening pikiranmu naak …..

3.Nunut ngeyub, priye? = Ikut berteduh, bagaimana?

4.Sugih = kaya

5.Nempil kemukten = Ikut menikmati kekayaan/kesuksesan

6.Kudu nrimo ing pandum = Harus menerima pembagian (maksudnya harus menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepada manusia)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun