Kasus yang mencuat di medsos tentang PR Habibi yang diposting oleh Erfans sebenarnya kasus lama. Bedanya dulu belum ada internet. Kasus tersebut hanya sampai di sekitar kelas itu saja, antara guru dan murid. Ketika kondisi demikian, maka sebenarnya boleh dikatakan hampir tidak ada masalah. Jaman sekarang kadang-kadang orang punya sense of posting (tidak tahu apakah istilah ini diijinkan atau tidak). Hampir segala apa yang ia rasakan, segera ditulis diwall facebook. Termasuk dalam postingan hasil ulangan Habibi yang akhirnya menjadi ramai di dunia maya. Beruntung menurut informasi postingan tersebut telah dihapus. Namun ternyata buntutnya masih panjang. Nah buntut yang panjang inilah yang kadang-kadang sangat membingungkan orang, baik orang dewasa, maupun anak-anak.
Matematika ilmu eksak kata beberapa orang, tapi di beberapa komentar ada yang mengatakan bukan ilmu eksak. Memang kita tidak boleh terburu-buru. Banyak kasus-kasus yang harus diletakkan pada porsinya masing-masing. Ambil contoh dalam kaidah pembulatan bilangan (aproksimasi) lazimnya pembulatan ke atas dipakai ketika bilangan di belakang koma adalah 5 ke atas. Jadi 3,6 boleh dibulatkan menjadi 4, jika 7,53 boleh dibulatkan menjadi 7,5 , atau jika boleh dilanjut pendekatan ekstrimnya menjadi 8, tergantung pembulatan ini tingkat ketelitiannya sedang diterapkan di mana.
Misalkan ukuran sambungan antar dua logam (akan menempel mulai menempel) pada ukuran 5,32 cm. Jika pembulatan yang diambil ke bawah menjadi 5,00 , bisa dipastikan kedua logam tidak akan tersambung. Bayangkan yang akan disambung adalah logam melintang dengan tiang besi. Ukuran dibuat oleh tukang las dibulatkannya ke bawah (karena pelajaran di SD, SMP dan seterusnya begitu) maka akan timbul masalah. Oleh karena itu ada saat-saat khusus ketika aturan aproksimasi boleh tidak digunakan. Inilah mengapa ada yang menyebut bahwa pembahasan dalam matematika (khususnya terapan) tidak terlalu eksak.
Kasus Erfas
Terlepas dari benar atau tidaknya kasus yang diangkat Erfas, banyak yang berkomentar. Artinya komentar tentu datang dari berbagai sisi atau sudut pandang. Kasus mungkin benar untuk guru SD Habibi, tetapi ada yang menyalahkan dengan alasan bukan pada ilmunya, tetapi dilihat dari dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap anak. Jika sudut pandang berbeda, tentu segala hal akan memberikan kesimpulan yang berbeda.
Termasuk jika guru SD melakukan tes dikte (tentu rujukannya adalah menulis dalam Bahasa Indonesia) Â dan anak menjawab demikian :
(Sumber gambar : Lacakan pribadi ke anak tetangga)
apakah gurunya salah jika si anak memperoleh nilai  0 (nol)?
Dilihat dari sudut pandang  kebahasaan (menulis), siswa salah karena kalimatnya "tidak berbunyi". Menurut sudut pandang orang tua, tidak salah, karena anak baru 5 tahun sudah masuk SD jadi belum cukup umur. Menurut sudut pandang lain, itu gurunya kejam, seharusnya "ada ongkos nulis". Bukankah begitu?
Cari Referensi