[caption id="attachment_263054" align="aligncenter" width="655" caption="Pernikahan Menyatukan Dua Individu (Sumber gambar: www.libertynews.com)"][/caption]
Tidak terasa bulan ini telah lima belas tahun kami membina rumah tangga. Dalam membangun keluarga memang selalu tidak luput dari riak gelombang permasalahan. Akan tetapi, puji syukur kami telah melaluinya tanpa hambatan yang berarti. Bisa saya katakan demikian karena saya sering mendengar cerita kerabat, teman, dan sahabat yang menghadapi permasalah keluarga yang lebih dahsyat dibandingkan yang kami alami.
Memang bisa jadi hal ini hanya masalah “sawang sinawang” dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih kita hanya bisa melihat dari luar. Mungkin masalah mereka sebenarnya tidak serumit dan sepelik yang kita dengar atau mungkin justru sebaliknya. Di sini ada masalah standar dalam keluarga yang bisa berbeda-beda di setiap keluarga. Tingkat kebahagiaan dan standar pencapaian sebuah keluarga ditentukan oleh keluarga itu sendiri. Hal ini tentu saja disusun atas kesepakatan anggota keluarga, dalam hal ini suami dan istri serta juga anak-anak apabila memang sudah memiliki.
Membangun keluarga memang tidak semudah yang dibayangkan atau diucapkan. Minimal ada dua individu yang diupayakan untuk diseleraskan kepentingan dan tujuannya. Apalagi dalam tradisi budaya kita pengaruh keluarga besar dari kedua pihak masih perlu dipertimbangkan. Memang hal ini bisa dikatakan faktor luar, tetapi kebanyakan justru “faktor luar” ini sangat besar pengaruhnya bila masing-masing pihak mudah terpengaruh.
Bukannya mengecilkan arti keluarga besar, memang seharusnya setiap pasangan bisa mengambil jalan atau keputusan sesuai arah biduk keluarga yang telah ditentukan berdua. Pihak keluarga besar masing-masing pasangan bisa dianggap sebagai masukan yang bisa dipakai atau ditolak. Jika memang masukan mereka dianggap baik dan berguna ya diterapkan, namun jika dianggap tidak sejalan dan akan mendatangkan lebih banyak masalah ya sebaiknya dilupakan.
Satu hal utama untuk bisa menjadi keluarga yang bisa menentukan arahnya sendiri memang landasan atau pondasi berkeluarga sudah kuat sejak awal. Menurut pengalaman saya proses pembentukan pondasi ini terjadi tiga hingga lima tahun pertama pernikahan. Di sanalah sebuah keluarga biasanya diuji dengan berbagai permasalahan. Apabila lolos dari ujian ini biasanya sebuah keluarga akan relatif lebih mudah melalui tahun-tahun selanjutnya. Akan tetapi, sekali lagi hal ini bisa berbeda kondisinya untuk setiap keluarga.
Belajar dari pengalaman orang tua dan penasihat pernikahan, kata-kata kunci yang mungkin bisa menjaga pernikahan tetap utuh adalah adanya rasa saling percaya. Saling percaya ini bukan sekadar memberi dan menerima kepercayaan begitu saja. Akan tetapi, di sana ada sebuah tanggung jawab. Kepercayaan yang diberikan oleh pasangan harus tetap dijaga, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tanpa menghiraukan pasangannya. Apabila masing-masing bisa menjaga kepercayaan ini, rasa curiga dengan sendirinya akan sirna.
Selain saling percaya, keterbukaan harus dijunjung tinggi dalam setiap keluarga. Apabila ada pemasalahan atau ada sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan dari satu pihak sebaiknya segera dibicarakan dengan pihak pasangan. Jangan berusaha menekan, menyimpan dan memendam rasa ini sendiri. Permasalahan seperti ini lama-lama bisa membesar dalam dekapan yang siap meledak kapan saja dan bisa jadi penyelesaiannya akan jauh lebih rumit.
Seperti halnya hidup manusia kehidupan berkeluarga juga pasti akan menghadapi cobaan dan permasalahan dalam perjalanannya, entah itu datangnya dari faktor luar maupun dari dalam sendiri. Manusia selalu bertumbuh, seiring dengan hal itu pemikiran dan kebutuhan jasmani dan rohani juga bisa berkembang atau berubah. Berbekal rasa saling percaya dan keterbukaan itulah Insya Allah segala aral melintang akan teratasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H