Mohon tunggu...
Didik Djunaedi
Didik Djunaedi Mohon Tunggu... Editor - Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Editor, penulis, dan penikmat hiburan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Eat Pray Love: Menonton dengan Usaha Ekstra untuk Memaknainya

18 November 2010   23:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Nonton film Eat, Pray, Love (EPL) memang butuh kesabaran tersendiri. Kesabaran untuk mencari makna dari isi film ini. Penonton yang belum pernah baca bukunya atau tidak tahu sama sekali tentang apa kira-kira isi bukunya mungkin akan cepat "tertidur" atau teralihkan untuk melakukan kegiatan lain yang mereka anggap lebih mengasyikkan seperti bertelepon atau ber-SMS. Hal ini yang saya alami. Beberapa penonton di sekitar ada yang asyik ngobrol sama temannya, bertelepon gak penting, dan memainkan tombol-tombol hp-nya, entah ber-SMS atau sekadar update status facebook. Bahkan mungkin ada juga yang mencari-cari kegiatan lain bersama pasangannya. :p Kebetulan saya sudah tersiapkan dengan kemungkinan-kemungkinan pengalihan itu, saya sudah sedia beberapa makanan cemilan (EAT) yang akan "mengganjal" mata. Saya termasuk penonton yang belum baca sepenuhnya buku karya Liz Gilbert ini. Saya hanya sempat baca bagian ketika Liz ada di Bali. Tapi, saya sudah sempat curiga film ini akan sangat datar karena cerita ini saat disampaikan melalui media tulisan atau buku memang akan mudah disukai, begitu dialihkan ke dalam film akan cenderung membosankan. Tapi, saya masih sempat berdoa (PRAY) semoga film ini tidak menjadi sangat menjemukan. Menonton EPL memang seperti mengikuti perjalanan pencarian keseimbangan jiwa Liz Gilbert (Julia Roberts). Tema atau kejadian seperti ini memang sering dialami teman-teman bule kita. Liz menemukan dirinya melalui kisah-kisah orang yang ditemuinya di beberapa tempat: Italia, India dan Indonesia. Wah kebetulan sekali, ketiga negara yang dikunjungi berinisial I. Kisah Liz sendiri sebetulnya tidak terlalu "istimewa". Ia "hanya" melarikan diri dari kemapanan: karir bagus, rumah bagus, suami bagus tapi ia tetap merasa ada yang kurang. Hal semacam ini tentu saja bisa merelasi ke semua orang. Pasti akan menyentuh kalbu karena hampir semua orang mengalaminya bila menjalani hidup tidak dengan I yang lain, ikhlas. Nah, yang membuat film ini terasa agak membosankan, meskipun laju penceritaannya cukup cepat, unsur drama yang mengaduk-aduk perasaan kurang. Sebetulnya ada beberapa materi yang sangat potensial, yaitu kisah-kisah yang ditemui Liz di beberapa negara, misalnya kisah Richard from Texas (Richard Jenkins) dan Wayan (Christine Hakim) dari Bali. Atau bisa juga dimasukkan tokoh baru yang membuat nilai drama dari cerita ini lebih mengharukan dengan tetap membawa esensi dari bukunya. Anyway, film ini gak jelek-jelek amat, masih tetap layak ditonton dengan syarat kita harus berusaha ekstra keras mencari maknanya sendiri. Siapa sih yang gak mudah jatuh cinta seperti yang saya alami (LOVE) ketika disuguhi Julia Roberts, Italia, India dan Indonesia melalui Bali. Bersyukur, di buku dan filmnya selalu disebutkan bahwa perjalanan terakhir dalam kisah Liz ini adalah di Bali, Indonesia. Di film memang nama Indonesia hanya sempat disebut sekali ketika Liz mengirim email ke teman-temannya tentang kisah hidup Wayan. Di buku nama Indonesia tertulis di sampul berjajar dengan Italia dan India. Uh, bangganya.... (dikk21)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun