Mohon tunggu...
Didik Agus Suwarsono
Didik Agus Suwarsono Mohon Tunggu... Cah Angon -

"Khoirunnas anfa'uhum linnas"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuhan Izinkan Aku Melacur (2-Habis)

6 Mei 2011   06:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 1565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Semakin erotik saja ternyata", gumamku.

Wajah-wajah cantik itu masih bergerilya diantara remang-remang malam. Sesekali ku dengarkan tawa lepas tanpa beban dengan bahasa tubuh yang mulai nakal menggoda diantara percikan warna-warni temaram. Sembari memainkan kepulan asap rokok diantara dingin udara yang kian mengigil. Malam telah hampir larut tapi yang ku rasakan tatapan mata-mata berbinar harap diantara balutan make up yang memang wahhh....

Entah kenapa aku merasa berada di sebuah pertunjukan opera saja. Ada wajah-wajah yangtak ku kenali tapi ku merasa begitu dekat. Apakah benar bahwa mereka menerima apa yang ada? merelakan dirinya untuk terus menerus berada di lembah nan hitam kelam?. Ah, tidak. Semua orang pasti inginkan kehidupan yang lebih baik, berkeluarga, kenormalan yang tentu ada dalam setiap angan. Sebagaimana anda dan saya tentu berkhayal pada imaji yang tak jauh beda. Pak Romli bilang, "ghorizah'". Tapi kenapa mereka tak jua melepaskan diri dari tirani itu?.

Sebut saja Melati, 18 Tahun. Usia yang begitu belia tapi dia telah dua tahun berada di kelamnya dunia malam. Tak sempat menyelesaikan SMU-nya karena orang tuanya dililit hutang dengan seorang rentenir. Ia akhirnya jadi istri muda sampai akhinya dicampakkan. Tragis !!!

Barang kali terlalu banyak cerita miris di lembah hitam ini dan yang pasti Melati tak sendiri. Ada banyak mungkin mawar-mawar, melati-melati yang telah lebih dahulu layu diantara keanggunan yang dimilikinya. Terlalu naif rasanya kalau kita dengan begitu mudah memberikan stempel "sampah" kepada mereka yang bisa dengan tegar bertahan diantara deraan ujian hidup yang begitu pahit dan getir. Rasanya kita perlu untuk bisa lebih arif melihat semuanya. Kalau semua itu pilihan tentu saya yakin tak ada yang akan mau memilih jalan segetir itu.

Tapi inilah hidup dan segala warna-warninya. Dispersi keragaman yang terkadang menghadirkan sebuah kenyataan pahit bahwa ada warna kelabu diantara kuning keemasan yang berkilauan, Ada warna hitam diantara kesucian warna putih. Spektrum kemajemukan yang terkadang meninggalkan catatan ketragisan. Saya ingin mengajak diri saya untuk belajar dengan kearifan qolbu melihat semuanya dari berbagai dimensi. Memandang segalanya dengan kebijaksanaan jiwa sehingga tak akan lagi kita saling melakukan pembenaran atau bahkan menyalahkan. Yah, mencoba bukan sekedar hanya mengerti tapi lebih dari itu memahami.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun