Mohon tunggu...
Didik Agus Suwarsono
Didik Agus Suwarsono Mohon Tunggu... Cah Angon -

"Khoirunnas anfa'uhum linnas"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bung Karno-Om Sam, Rindu Kami Padamu

28 Februari 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:33 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ir. Soekarno dan Dr. Sam Ratulangi adalah dua ikon sejarah Indonesia yang bergerak dalam kesinergisan irama sejarah, keduanya menjadi warna sekaligus mewarnai pergulatan panjang sejarah diantara proses transformasi fakta yang terus terjadi, problematika yang tersisa, paradoks dan catatan hitam putihnya. Tanpa bermaksud mengecilkan peran tokoh yang lain Bung Karno dan Sam Ratulangi telah menempatkan dirinya menjadi mesin lokomotif yang mampu menggerakkan gerbong-gerbong kesadaran sejarah untuk melakukan collective movement menuju stasiun kemerdekaan (freedom) dan keadilan sosial (social justice). The founding fathers yang mampu memberikan bukan hanya kajian mendalam secara teoritis tetapi tampil dalam konteks praksis, mempertemukan teori dan realitas, mengawinkan antara buku dan bumi juga membangun sekat-sekat kesadaran diantara keterbatasan belenggu ruang. Barang kali inilah hal yang membuat kedua tokoh ini berada dalam kedudukan yang istimewa bagi masyarakat Indonesia baik pada tataran lokal maupun nasional.

Mungkin benar menurut pendapat Anis Matta (2003) bahwa kepahlawanan membutuhkan suatu momentum untuk meledak dan “waktu” lebih banyak menjadi positive factor, akan tetapi rasanya menjadi the pioner of changing tentu juga bukan suatu romantisme sejarah yang mudah tapi keduanya telah melewati fragmen-fragmen itu. Baik Soekarno maupun Sam Ratulangi telah hadir dan menjadi integral part dalam suatu dinamisasi sejarah perjuangan bangsa, yang waktu itu bukan hanya harus berkutat melawan penjajahan secara fisik tetapi lebih dari itu dibutuhkan sebuah upaya lebih keras dalam nation and character building melalui intellectual force untuk menisbihkan kebodohan dan ketertinggalan rakyat Indonesia saat itu.

Soekarno hadir dengan suatu konsep perlawanan terhadap imperialisme-kapitalisme barat melalui sebuah faham yang dikenal dengan marhaenisme. Menurut Dr. Tadjuddin Noer Effendi, prinsip utama (asas) pemikiran Soekarno bersumber pada tuntutan hati nurani manusia. Dan, ini sudah ada sejak Soekarno muda. Dari awal berjuang, ia senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia. Tidak hanya sekadar merdeka, tetapi lebih dari itu yakni memperjuangkan keadilan dan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia.

Asas perjuangan Bung Karno disusun berdasarkan realitas sosial bahwa tanpa melakukan perlawanan secara revolusioner terhadap feodalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme sangat tidak mungkin membebaskan anak manusia dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan manusia atas manusia serta penindasan bangsa atas bangsa. Pemikiran ini dijadikan konsep dasar dalam menentukan strategi dan arah perjuangan. Kemudian pada tahap ini Soekarno merumuskan pemikiran itu ke dalam asas Marhaenisme. Sedangkan menurut Prof Dr Djohar MS, asas marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan keadilan, persamaan hak, dan memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan yang tertindas, yang antikapitalis dan imperialis, tampaknya diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi ke arah pergaulan hidup sama rata, sama rasa, sama bahagia, yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia.

Soekarno adalah geliat perlawanan yang seakan sulit untuk dipisahkan dari dinamika sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Elegenitasnya yang begitu progresif telah mampu membakar dan memprovokasi kesadaran berbangsa akan pentingnya menggagapai puritan value dari sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Kita mungkin masih bisa merasakan itu dari rekaman pidato-pidato politiknya yang mengguncang nusantara. Terlepas dari hitam putih, paradoks dan reinterpretasi sejarah yang terus terjadi, dia adalah putera sang fajar yang mampu menguak tabir kelam kolonialisme yang telah mengekang bangsa ini hampir tiga setengah abad.

Pada ruang yang lain ritme spirit yang sama berjalan dari Ranah Minahasa yang ditabuh dengan genderang intelektualitas olehDr. Sam RatulangiSebagai insan manusia Minahasa, Indonesia, yang membenarkan dan melaksanakan falsafah hidup Minahasanya, yaitu: “Sitou timou tumou tou” yang dapat diartikan sebagai “manusia lahir dan dibesarkan untuk memanusiakan manusia”. Itu juga yang mendorong beliau untuk terus mendedikasikan segala kemampuannya demi bangsa dan negaranya baik sebelum maupun sepulang dari Belanda.

Ia tampil dengan visi kebangsaan yang memandang bahwa suatu bangsa adalah muara integrasi dari pluralitas suku-suku bangsa yang beraneka ragam. Dalam sebuah artikel berjudul ‘Christianity and Ethnicity in Indonesia; The Intelectual Biography of Sam Ratulangi’ yang dibawakan dalam sebuah simposium di Universitas Frankfurt pada bulan Desember 2003 oleh Gerry van Klinken dari KITVL di Leiden, Nederland; antara lain ia mengatakan bahwa pemikiran intelektual Nasionalisme Etnis Minahasa; Ratulangi memperolehnya dari penggalian budaya asli Minahasa yang ia hubungkan dengan falsafah semangat “Bushido” Jepang oleh Nitobe dan semangat falsafah “Kebenaran Pragmatis” Eropaoleh William James (1907).

Ratulangi menurut Gerry van Klinken (2003) sangat menekankan bahwa Nasionalisme Minahasa ada hubungan yang erat sekali dengan budaya asli Minahasa maupun agama Kristen yang datang ke Minahasa bersamaan dengan budaya modernisasi Eropa. Kekristenan dan budaya asli Minahasa sudah merupakan satu kesatuan yang membentuk Nasionalisme Etnis Minahasa. Dan Ratulangi dengan sangat cemerlang telah menguraikan pikirannya itu dalam berbagai pertemuan mahasiswa-mahasiswa jamannya di Nederland yang turut didengar pula oleh dua orang senior intelektual Ratulangi yaitu van Deventer dan Abendanon.

Lebih lanjut menurut analisa Gerry van Klinken, Ratulangi sejak tahun 1922 sampai ia meninggal tahun 1949 sangat konsisten dengan pemikiran sistem federal untuk Republik Indonesia dimana nasionalisme Minahasa dapat terakomodir. Beliau juga sangat yakin bahwa nasionalisme Indonesia harus dibangun dari akarnya yakni, nasionalisme yang bertumbuh dari nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang sangat plural yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara. Ratulangi sangat yakin bahwa Indonesia Merdeka akan menjadi satu negara yang besar dan kokoh bila ia dibangun atas pondasi nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang demokratis dengan identitas budayanya masing-masing.

Primordial positive” yang jauh dari kesan introvert apalagi eksklusifitulah yang menjadikannya sebagaimana Soekarno ternyata menjadi begitu membumi dengan wajah dan budaya lokal akan tetapi memancar cemerlang dalam aura yang global. Sebuah titik pandang yang sering dipahami sebagai a holistic approach to life”. Keduanya boleh jadi adalah sebuah simbol elegan yang menasbihkan fighting spirit yang tak kenal lelah dalam proses perlawanan terhadap penjajahan dan keterbatasan. Untuk itu menjadi sebuah pertanyaan besar, mampukah semangat membaja itu tetap terwarisi dan dilanjutkan kepada generasi penerus ditengah infiltrasi besar-besaran globalisasi dan mondialisasi?. Jawabnya tak lain dan tak bukan, harus !!!.

Kalau kita mencermati kedua tokoh kharismatik ini maka sebenarnya ada beberapa persamaan mendasar baik dalam hal destination oriented perjuangan maupun way out yang ditempuh keduanya. Pertama, Bung Karno dan Sam Ratulangi membangun nationalism spirit diatas fondasi dan ruang kesadaran (internalisasi). Dalam hal ini sense of pride dan sense ofbelonging atas kekayaan bangsa ini menjadi keywords dari muara pemahaman yang “penting” untuk dimiliki dan dibanggakan. Keduanya bahkan secara implisit menjelaskan bahwa untuk memiliki rasa cinta terhadap bangsa ini harus dimulai dari introduction process terhadap kekayaan dan pluralitas yang dimiliki.

Kedua, pemimpin yang konsisten bergerak dalam intelectual force sebagai bentuk perlawanan atas pengkebiran terhadap ruang intelektual yang selama masa penjajahan sangat dikekang dan hanya bisa dinikmati segelintir kalangan (baca : kalangana priyayi). Keduanya adalah guru bangsa yang tak perlu diragukan lagi komitmennya terhadap budaya inteletual. Bahkan lebih dari itu baik Bung Karno melalui marhaenismenya dan Sam Ratulangi dengan falsafahSitou timou tumou tou bukan hanya bergerak dalam konsep tekstual tetapi benar-benar membumikan diri dengan praksis–aplikatif.

Ketiga, kukuh dengan pendirian bahwa muara dari semua gerakan perjuangan yang dilakukan baik melalui konsistensi spirit perlawanan secara fisik maupun militensi gerakan moral and intelectual force adalah pada suatu terminal akhir (the last destination) yakni cita-cita nasional untuk mewujudkan Indonesia yang adil makmur, yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Inilah yang tampaknya mulai dilupakan oleh bangsa ini. Nuansa perpolitikan baik pada tatanan lokal maupun nasional lebih sarat akan konspirasi dan kepentingan sesaat sehingga melupakan tujuan awal. Konteks pemujaan terhadap kekuasaan lebih dominan sehingga kehilangan semangat pengabdian. Ini diperparah dengan semakin melunturnya semangat kebangsaan baik karena pengaruh internal yakni rongrongan terhadap wawasan kebangsaan dalam hal ini pancasila maupun karena pengaruh globalisasi.

Dalam konteks inilah penulis memandang adalah suatu keharusan untuk bangsa Indonesia belajar dari semangat sejarah (the history spirit) sebagaimana Bung Karno pernah menyampaikan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya”. Di tengah infiltrasi globaldan mondialisasi yang tak terbendung dan terjadi di segala bidang kita tidak boleh begitu saja meninggalkan “jati diri” sebagai bangsa. Nation character building, rasanya merupakan sebuah spirit yang harus kembali ditanam dan dipompakan kepada generasi penerus bangsa. Salah satu cara untuk itu, adalah dengan menumbuh kembangkan kesadaran sejarah (transform and develope history awareness). Salah satunya adalah spirit juang Ir Soekarno dan Dr. Sam Ratulangi, harus dimaknai dan bukan hanya dihadirkan dalam retorika sejarah semata tapi membumi dan tertanam untuk kemudian mampu diimplementasikan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lantas bagaimana dengan nasib pergerakan saat ini?. Para elit di negeri ini ternyata lebih sibuk mengurus dirinya, menyelamatkan kepentingan golongannya, berpolemik tiada akhir dalam intrik dan manuver-manuver politik yang kotor,jauh dari kesan elegan dan cerdas. Permasalahan dasar rakyat menjadi terabaikan, entah pada siapa lagi kemiskinan harus disuarakan, kesetaraan pendidikan harus diperjuangkan. Semua pemimpin kita larut dalam irama "disco" politik yang membuat kita semua jenuh, penat dan pesimis. Kita rindukan kembali sosok Bung Karno, kita rindukan sosok Om Sam, berharap meskipun bukan dengan pidato yang meletup-letup tapi berbuat secara nyata bagi rakyat Indonesia

Catatan Kisruh Politik Negeri Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun