Hiruk pikuk politik di tanah air diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 9 Juli 2014. Saat dimana rakyat Indonesia akan memilih Nakhoda yang akan membawa biduk harapan bernama Indonesia Raya untuk 5 (lima) tahun ke depan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri pada 31 Mei 2014, telah menetapkan 2 (dua) pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo-Hatta dengan nomor urut 1 dan Jokowi-Jusuf Kalla dengan nomor urut 2. Genderang kompetisi telah ditabuh, seperti layaknya sebuah kontes merebut simpati, kampanye dengan berbagai media dan cara dilakukan oleh masing-masing tim sukses kedua pasangan tersebut.
Setidaknya selama 2 (dua) minggu masa kampanye bergulir, kita telah disuguhkan dengan berbagai aksi teatrikal politik, intrik dan konstelasi yang merefleksikan spirit, ambisi bahkan syahwat politike para elit. Perang visi dan misi Capres-Cawapres tak lagi menjadi suguhan obyektif ketika begitu banyak isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang menjadi mainstream dalam setiap black campaign. Media pun tak lagi mampu memberikan proporsi pemberitaan secara berimbang, “Media terbelah dalam memberitakan Pilpres”, demikian disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyikapi fenomena Pilpres dihadapan Para Kepala Daerah.
Dimana posisi umat pada Pilpres mendatang?, barang kali ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tapi dengan tanpa meninggalkan rasa hormat atas sikap politik para Pemuka Agama (yang juga terbelah) maka saya memberikan sikap politik sendiri. Sikap politik ini didasarkan atas Qowaidul Fiqhiyah :
“Idhaa ta’aarodho dhororooni daf’u akhfahuma”
yang artinya : “Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan”.
Secara personal tentu saya tidak melihat para tokoh yang menjadi kontestan Pilpres ini sebagai suatu ancaman dan memberikan kemudharatan (bahaya) bagi Negeri ini, tetapi sebagai produk dari sistem demokrasi keduanya (diakui atau tidak) membawa nilai dan resiko masing-masing. Melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca untuk benar-benar mencermati pilihan politik kita. Pilpres tahun ini (sekali lagi) sangat penting dan terlalu berharga untuk kita abaikan begitu saja, Nasib kita ke depan sangat ditentukan oleh siapa Pemimpin kita, seperti kata Najwa “memilih bukan berjudi, jadi pastikan kita memilih figur yang tepat”.
Selamat menimbang dan menentukan pilihan.
Salam.
Didik Agus Suwarsono,
Pemerhati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H