Jika generasi muda sekarang ditanya, mau bekerja menjadi apa, berapa persen kira-kira yang akan menjawab, "Saya mau bekerja jadi petani"? Rata-rata mungkin akan menjawab ingin jadi orang kantoran dengan segala kenyamanan yang diterima. Seperti gaji yang pasti diterima tiap bulan, tempat kerja yang nyaman, hingga gengsi yang didapat. Bagaimana dengan menjadi petani? Kebanyakan akan berpendapat bahwa menjadi petani kurang menguntungkan karena penghasilan petani yang tidak menentu dan harus menunggu masa panen tiba. Belum jika harga saat panen malah jatuh. Selain itu, stigma pertanian yang sulit ditekuni, panas-panasan dan pekerjaan yang ndeso juga mempengaruhi minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian. Hal tersebut yang membuat penumbuhan Petani Milennial menjadi salah satu perhatian dari Kementerian Pertanian saat ini. Petani Milennial sendiri didefinisikan sebagai tenaga kerja yang terjun dalam usaha pertanian dengan kelompok umur 19 hingga 39 tahun.
Regenerasi petani melalui program Petani Milennial menjadi sebuah urgensi seiring semakin menuanya petani tradisional di Indonesia. Secara jumlah, bidang pertanian memang masih mendominasi penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebesar 38,7 juta orang. Namun, jika diperhatikan lebih detail secara kelompok umur, petani di Indonesia didominasi oleh petani tradisional yang sudah berumur di atas 45 tahun. Berdasarkan hasil sensus pertanian 2018 oleh BPS, petani Indonesia paling banyak berada di kelompok umur 45-54 tahun, yaitu sebesar 28%. Diikuti oleh kelompok umur 35-44 tahun sebesar 24% dan kelompok umur 55-64 tahun sebesar 22%.
Penumbuhan petani milennial ini juga ditujukan untuk meningkatkan minat generasi muda masuk ke dunia pertanian. Dari Statistik Pemuda Indonesia 2022, berdasarkan komposisi sektor usaha, lebih dari 50% tenaga kerja milennial yang berusia 16-30 tahun terjun ke sektor jasa. Baru kemudian diikuti oleh sektor manufaktur dan pertanian.
Yang lebih miris lagi, sektor pertanian Indonesia lebih banyak diisi oleh pemuda yang tidak tamat SD, yaitu sebanyak 56,85% atau lebih dari setengahnya. Rendahnya kualitas SDM ini dapat mempengaruhi kualitas dari pembangunan pertanian ke depannya. Padahal SDM yang berkualitas dapat memberikan disruption terhadap bidang pertanian Indonesia, baik melalui digitalisasi maupun pengembangan ide-ide kreatif dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas komoditas pertanian. Sehingga dalam jangka panjang, terlibatnya generasi milennial dalam pembangunan pertanian dapat mengubah wajah pertanian Indonesia menjadi lebih modern, kreatif dan inovatif.
Setidaknya ada tiga tahapan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan petani milennial secara efektif. Tahap pertama adalah penguatan infrastruktur pertanian. Infrastruktur yang dibutuhkan tidak hanya infrastruktur di lapangan seperti alsintan, benih dan irigasi. Tapi juga infrastruktur digital seperti aplikasi pemantau kualitas lahan dan kesehatan hewan ternak. Sebagai generasi yang tidak bisa lepas dari gadget, generasi milennial akan lebih tertarik dengan adanya kemudahan dalam menjalankan usahanya.
Infrastruktur permodalan juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan generasi milennial merupakan generasi yang paling lemah dari sisi pendapatan. Untuk itu, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Pembiayaan Pertanian terus mendorong penyaluran KUR agar petani milennial dapat mengembangkan usahanya melalui pinjaman dengan bunga yang rendah, yaitu sebesar 6% per tahun.
Tahap kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi ini harus berfokus pada penghapusan stigma dunia pertanian yang tidak menguntungkan, penuh ketidakpastian, dan tidak prestisius. Konten sosialisasi ini dapat diberikan bertahap mulai dari manfaat menjadi petani rumahan untuk konsumsi sendiri, hingga nantinya mengembangkan komoditas pertanian untuk dijual. Tidak hanya sebatas konten, tapi upaya-upaya perbaikan kesejahteraan petani juga harus digalakkan untuk menjaga gairah para petani milennial.
Tahap ketiga adalah pendampingan mulai dari kegiatan pra panen hingga pasca panen. Selain minim permodalan, generasi milennial yang baru terjun juga minim pengetahuan mengenai teknis dunia pertanian. Maka dari itu, pembekalan pengetahuan melalui kegiatan seperti bimbingan teknis sangat dibutuhkan. Bukan tidak mungkin, kegiatan bimbingan teknis melalui media sosial dan mentoring oleh pelaku usaha pertanian yang sudah sukses bisa dijalankan sebagai bentuk terobosan. Hal ini bertujuan agar bimbingan teknis tidak hanya menjadi kegiatan yang seremonial, tapi juga berkelanjutan.
Pada akhirnya, menjadi petani memang tidak mudah. Namun kenikmatan mencari rezeki dari alam itu memang ada. Generasi milennial sudah saatnya memimpin gerbong perjalanan ekonomi Indonesia. Dimana lokomotif penariknya adalah sektor pertanian. Jangan sampai sawah hanya dijadikan tempat healing oleh generasi milennial. Tapi juga tempat meniti karir sebagai pahlawan pangan.
Sumber :
Statistik Pemuda Indonesia 2022, BPS