Beberapa waktu ini media menyajikan berita kematian dari segelintir orang yang nilai kematiannya sama sekali tidak punya arti. Padahal hidup itu hanya satu kali. Jika kematian datang maka tak bisa lagi diulang umurnya. Mereka mati untuk sebuah hal yang sama sekali tidak bermanfaat bagi Tuhan, agama, negara maupun keluarga.
Yang pertama adalah kasus kematian massal yang terjadi akibat menenggak minuman keras oplosan. Beberapa daerah di Indonesia masih marak kematian yang seperti itu. Banyaknya nyawa yang melayang serta nasehat dari lagu dangdut oplosan yang cukup terkenal sama sekali tidak membuat mereka menghentikan aksi minum oplosan tersebut.
Apa yang mereka cari dari minum oplosan tersebut? Bukankah lebih baik bila minum susu, kopi atau secangkir teh? Bisa-bisanya mereka mencari gara-gara yang tidak pantas dibanggakan sama sekali. Apa terus kalau sudah minum oplosan terus dibilang jantan, macho atau jagoan? Sama sekali perbuatan yang sangat terkutuk dari sudut pandang agama, negara maupun norma masyarakat.
Yang kedua adalah kematian suporter sepakbola. Bagaimana malaikat maut mau mencatatnya? Dia bukan mati dalam rangka berjihad membela agama Islam dan bukan pula mati membela negara. Bukan pula mati karena sedang bekerja mencari nafkah, bukan pula kematian karena sedang melahirkan. Bukan pula mati dalam rangka menuntut ilmu, bukan pula mati karena sedang menunaikan ibadah haji. Mati gara-gara nonton sepak bola?
Apa pentingnya sepak bola buat kehidupan akhirat kita? Itu hanyalah sebuah bola yang ditendang oleh 22 laki-laki yang berusaha memasukkannya ke dalam gawang. Sedemikian pentingkah sepak bola sampai harus berkorban nyawa? Kita malu kepada pemuda-pemuda zaman dahulu yang menghabiskan usia mudanya menenteng bambu runcing untuk mengusir Belanda. Mengapa kualitas anak muda bangsa kita mengalami penurunan yang memprihatinkan.
Sobat, kita semua akan mati. Yang membaca tulisan ini dan yang menulis juga akan merasakan kematian. Dokter dan pasien akan mengalami kematian. Sipir dan yang dipenjara juga akanmati. Presiden ataupun tukang becak juga akan mati. Tidak menjadi persoalan kapan kita mati, yang paling penting adalah bagaimana kita mati? Apakah khusnul khotimah atau malah su’ul khotimah. Berusahalah untuk memiliki akhir hidup yang baik. Membawa bekal kebaikan yang banyak. Meninggalkan karya yang bermanfaat bagi anak cucu dan generasi mendatang. Mudah-mudahan kebahagiaan akhirat akan kita dapatkan. Amin. (Didi Eko Ristanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H