Mohon tunggu...
Didie Yusat
Didie Yusat Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang wiraswasta

Menulis adalah mengisi waktu terbaik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apa-apa Dipajakin

20 Januari 2016   14:19 Diperbarui: 20 Januari 2016   14:32 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendung pekat melukis langit pada sore itu. Baru pukul 17.30 ketika saya menuju parkiran sepeda motor untuk bersiap pulang. Lampu-lampu telah dinyalakan untuk  melawan gelap yang datang lebih cepat. Maghrib masih pukul 18.07, jadi masih ada waktu setengah jam untuk meraih beberapa kilometer menuju jalan pulang.

Suara adzan magrib telah memanggil, ketika jarak rumah masih beberapa kilometer. Mendung kian tebal menghitam. Benar saja hujan deras mengguyur deras ketika jamaah shalat maghrib belum selesai mengucap salam. Atap masjid yang sebagian beratap galvalum menyuarakan bunyi derap serentak seperti drumband, ditimpa deras hujan yang menghentak-hentak.

Hanya beberapa langkah dari masjid, wangi semerbak seduhan jahe dari warung HIK (warung Angkringan) menggoda saya untuk tak segera pulang. Apalagi hujan masih mengguyur deras. Laptop, HP bisa jadi korban deras hujan jika dibalut mantol sekalipun. Tiga ceret dengan tungku arang menghangatkan warung tenda ditepi jalan itu. Nasi kucing tersusun bertumpuk dengan lauk pauk yang masih segar belum diserbu pengujung. Sudah ada tiga lelaki muda yang sedang asyik mengobrol  ketika saya memesan segelas teh jahe. Mereka berhenti sejenak sedikit menunduk memberi isyarat “welcome”, tidak keberatan ketika saya sedikit menggeser duduk mereka untuk menghindar terpaan angin hujan.

Mereka kembali asyik tenggelam dalam berbincang bisnis. Satu orang dari mereka sepertinya sedang memulai belajar usaha. Maka bercerita berliku memulai usaha, mengalir seperti deras hujan. Ketika jeda menyulut sebatang rokok, seseorang dari mereka berbasa basi menanyakan pekerjaan saya. Mungkin mereka lupa disebelahnya ada orang asing. Saya mengaku bekerja di farmasi. Ya, supaya tidak terganggu saja dengan keberadaan saya. Dan jika mereka bertanya tentang profesi itu, saya masih bisa nyambung.  Lagipula dalam perbincangan mereka beberapa kali terlontar ucapan “apa-apa dipajekin”. Maka lebih nyaman bagi mereka jika saya menyembunyikan pekerjaan saya.

Maksud mereka sebenarnya ingin berbagi cerita diantara mereka begitu sulitnya untuk memulai usaha dan banyaknya pungutan tak resmi. Perijinan berbelit, dan uang semir ada dimana-mana. Bayangkan hanya untuk meminta surat domisili dari kelurahan  biaya yang dikeluarkan 1 juta  rupiah. Dan ketika usaha telah dimulai maka banyak yang akan mendatangi mereka. Uang keamanan, kas untuk kampung dan banyak lagi. Pengusaha memang seringkali dibuat tak berkutik dengan rantai birokrasi yang berwajah tak ramah ini.

Tiba-tiba  saya tertegun, teringat akan tugas-tugas kantor. Ketika orang mulai membuka usaha dan membutuhkan NPWP. Dengan ringan saya menyampaikan persyaratan-persyaratan yang kadang kala belum dipenuhi. Salah satunya adalah ijin domisili. Tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa untuk mencari surat keterangan domisili di kelurahan atau desa ternyata ada biaya yang cukup besar. Pantaslah kemudian orang berkesimpulan bahwa berurusan dengan kantor pajak (DJP) itu menyulitkan. NPWP memang gratis, tapi persyaratan untuk melengkapi syarat melibatkan  instansi lain yang ternyata tidak gratis. Maka DJP pun kena getahnya dan munculah kata-kata sakti yang begitu popular: “apa-apa dipajekin” tersebut. Kita tak ada hubungannya dengan birokrasi mereka, tapi masyarakat tetap mengkaitkannya dengan DJP.

Peraturan Pemerintah dan undang-undang pajak seringkali disikapi dengan kernyitan yang sangat berat bagi para Wajib Pajak. Karena diluar DJP masih ada lagi “apa-apa dipajekin” yang dikelola secara massif yang mepersepsikan  pajak. Birokrasi jalanan berwajah preman diluar sana tentu lebih menakutkan. Mereka mempunyai senjata (bahkan dalam arti yang sesungguhnya) sedangkan DJP senjata yang dimiliki hanyalah undang-undang. Senjata berupa tulisan-tulisan dengan bahasa kaku dan pasal-pasal yang bagi sebagian orang sudah memusingkan kepalanya sebelum mata dipaksa membacanya, sebelum telinga dipaksa mendengarkan ketika petugas pajak menerangkannya. Senjata yang dipunyai DJP seperti tak bertaji ketika disaingkan dengan senjata para preman. Jangan heran jika masyarakat dengan sangat ringan membayar “uang keamanan” Rp. 5000,- per hari yang jika ditotal sebulan lebih kurang Rp.150.000,- katimbang membayar PPh Rp. 50.000,- per bulan. Ini fakta.

Pajak yang dikelola oleh DJP memang harus diakui belum membumi. Bahwa APBN 70% berasal dari pajak juga bagi sebagian masyarakat mungkin tak peduli.  Bahwa negeri ini akan mandeg jika pajak terus menerus diabaikan siapa yang serius memikirkannya.

Beberapa pekan lalu saya ditelpon oleh seorang sahabat lama. Dia sarjana teknik yang baru selesai melanjutkan pendidikannya di Eropa. Betapa terkejutnya saya ketika teman saya tersebut menanyakan tentang “pajak mobil”. Pada akhir telefonnya dia meminta maaf, “oh….jadi itu bukan bagian dari pekerjaanmu ya, sory……sory…..,aku memang nggak faham sama sekali”. Bisa dibayangkan bagaimana pengertian pajak dimasyarakat awam.

Maka salah satu definisi pajak yang menyatakan bahwa: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,  masih kalah popular dengan definisi pajak orang awam yang dengan merdeka mendefinisikan pajak di warung angkringan: pajak listrik, pajak kendaraan bermotor, pajak pasar, pajak keamanan yang berujung pada “apa-apa dipajekin”

Maka tak ada kata-kata yang lebih sakti bagi pegawai DJP: sabar dan professional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun