Mohon tunggu...
Didi Adrian
Didi Adrian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Perang Proxy Bisnis Online Mulai Makan Korban

6 November 2017   20:44 Diperbarui: 6 November 2017   21:01 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pak Ramingun, sopir kantor nampak makin dandy akhir-akhir ini, penampilannya cepat berubah dan tak ketinggalan zaman. Selalu up to date dengan zaman now, istilahnya. Meskipun usianya sudah separo baya, tapi dari sepatu, celana hingga arloji selalu pakai produk bermerek. Mana, HP android tak pernah jauh-jauh dari dirinya, kalau tak digenggam, pasti nyelip di saku kemeja. Usut punya usut, ternyata saat senggang dia rajin berselancar di laman-laman belanja daring/online. Diapun sekarang hapal menyebut rupa-rupa nama laman tersebut: dari lazada, olx, tokopedia, bukalapak, kaskus jual beli, shopee, IG hingga mulai coba-coba ke e-bay lokal. Weleh-weleh.

Kehadiran bisnis online sudah hampir merata segala bidang dan melanda semua kalangan. Gemparnya makin terasa baru-baru ini, taksi argo berantem dengan Grab, GoCar dan Uber, apalagi heboh beberapa mal-mal besar yang mulai menjerit terkaing-kaing sepinya pembeli dan ancang-ancang gulung tikar.

Seperti sopir kantor tadi, asesori yang melekat di sekujur tubuhnya dibeli secara daring, katanya. Sepatu Adidas replika, celana Executive 99replika, kemeja LanvinFO, jam tangan kalau takFossil, Timex atau Rolex...juga replika. Murah, efisien, leluasa, banyak pilihan dan penjual daringnya bergaransi katanya. Pergeseran gaya hidup dan belanja pak Ramingun tadi, bisa jadi ikut andil bikin outlet-outlet besar, dan mal-mal megah, mengkilap berpendingin udara hingga ritel skala besar sampai eceran megap-megap bersaing. Daya beli anjlok!

Kepala BKPM, Thomas Lembong, dengan nada penasaran mengatakan bahwa fenomena ini harus ada penjelasannya. Investasi naik tapi daya beli malah turun. Harusnya investasi naik, penghasilan naik, sehingga permintaan naik. Misteri pertama.

Ekonomi Indonesia tumbuh stabil pada angka 5,01% pada semester I/2017. Pertumbuhan ritel sebesar 3% mendekati inflasi per Juli 3,88%, berarti netto inflasi bisa menciut lagi. Perlu diketahui, industri ritel adalah gambaran nyata daya beli masyarakat. Disanalah para penjual barang kebutuhan sehari-hari dan sembako berada.

Jika dunia bisnis diibaratkan medan perang, filsuf Sun Tzu sudah memberi nasihat ketahui musuhmu dan ketahui dirimu, maka dalam seribu peperanganpun kau akan siap. Bisnis konvensional tahu siapa yang dihadapi: bisnis online namun tanpa rupa dan bentuk yang pasti. Istilah kerennya proxy war. Ujug-ujug menyergap dan mati, kalau bisnis sepi merambat dan layu, tutup buku. Salahkan keadaan, serbuan ini datang terlalu dini.

Apa Yang Terjadi?

Mari kita cobakan petakan pelan-pelan kehebohan ini dan cari jawaban turunnya daya beli, lesunya bisnis ritel dan mal-mal. Siapa dan apa kambing hitamnya? Kerumitan dan kebingungan semacam ini harus dijawab dengan data riset yang relevan, sementara menyusun daftar dugaan apa dan kenapa. Paparan tulisan ini masih bergerak pada level pengamat.

Dugaan pertama melemahnya daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah atas. Mereka menahan nafsu belanja untuk barang-barang konsumtif, kalaupun berbelanja, transaksi daring sudah jadi jawaban. Tak heran, karena barang dan jasa online akan dijual lebih murah dengan menekan biaya perantara (distributor, agen, pengecer), atau biaya sewa gedung, tenaga kerja dan komponen biaya tetap lain. Lembaga survei AC Nielsen pun menyampaikan, lesunya penjualan ritel karena termakan oleh biaya gaya hidup sekarang sudah tak murah lagi. Kalangan menengah banyak membelanjakan uangnya untuk nongkrong, jalan-jalan dan bergaya-gaya yang sebenarnya makin mahal ketimbang belanja barang produk ritel.

Menurut Kepala Bapenas, Bambang Brodjonegoro, dugaan penurunan daya beli itu perlu diteliti kembali. Sebab banyak aktivitas ekonomi digital alias transaksi online tidak terdata. BPS hanya mengumpulkan data transaksi konvensional saja, dimana disebut bahwa daya beli ritel konvensional anjlok dari 13% menjadi 3%. Penurunan sebesar itu belum tentu diraup oleh pasar online, berapa persen yang lari ke tabungan dan kegiatan leha-leha atau leisure. Belum ada yang bisa menjelaskan karena keterbatasan data. Ada juga data dari lembaga riset AT Keatney bahwa kontribusi belanja online terhadap PDB masih di bawah 2 persen, dibanding kontribusi ritel modern sebesar 54 persen. Misteri kedua.

Tambahan lagi bahwa para penjual dan pebinis yang memiliki gerai secara fisik baik di mal-mal, pengecer besar, atau Glodok dalam kenyataan juga membuka toko secara online, memasarkan barang dagangannya lewat berbagai aplikasi canggih berbasis android dan smartphone lain. Itu sudah mereka lakukan jauh sebelum lesunya pasar ritel saat ini. Tambahan pelipur lara, bahwa gejala kelesuan dan penjualan di pasar ritel konvensional terjadi juga di negara lain. Mal-mal dan bisnis ritel besar di Amerika, Singapura, Malaysia dan Australia mengalami penurunan penjualan ritel konvensional dan ada dugaan mulai beralih ke ritel online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun