[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="sumber: nefosnews.com"][/caption]
Pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menuai permasalahan di berbagai daerah. Melihat fakta – fakta keluhan masyarakat menandakan bahwa BPJS belum berfungsi sebagaimana mestinya namun terburu – buru dijalankan.
Mulai dari infrastruktur (bagian informasi, antrean tiket loket, proses pendataan, pos pembayaran) hingga pendaannya semuanya masih bermasalah.
Semangat BPJS yang bertujuan membantu masyarakat ternyata jauh dari harapan. Hal tersebut dapat dilihat dari keluhan – keluhan masyarakat, antara lain:
-Di Banjarmasin, akibat keruwetan birokrasi menyebabkan meninggalkan bayi dalam kandungan.
-Seorang warga di Banjarbaru mengaku justru harus membayar saat membeli obat
-Pensiunan PNS Pemprov Kalimantan Selatan, Jawiyah sebelumnya memiliki Askes sehingga bisa berobat dan mendapatkan obat secara gratis untuk penyakit paru yang dideritanya. Selama dua tahun ia bergantung pada obat hirup Seretide Diskus Salmeterol Fluticasona dan Spriva Tiotropium Bromide, seharga Rp 1 juta. Namun setelah pemberlakuan BPJS, Jawiyah justru harus membeli dua obat tersebut.
-Niko Beni, mengantar istri berobat di RS Wahidin Sudirohusodo Makasar, kemudian ingin menebus obat di apotik yang biasa selama ini ditanggung Askes, tetapi faktanya tidak dikasih dengan alasan tidak lagi ditanggung kalau peserta BPJS, bahkan parahnya petugas apotik menyuruh Niko membeli obat di luar rumah sakit tersebut.
“BPJS ini mulai terlihat menyusahkan rakyat karena pelayanannya kurang bagus di lapangan, bahkan obat-obatan yang selama ini ditanggung Askes malah sekarang tidak ditanggung lagi," kata Niko seperti yang dikutip dari beritasatu.com.
Ironisnya, program BPJS ini tidaklah gratis. Masyarakat diharuskan membayar setiap bulannya dengan kelas yang berbeda. Padahal pemerintah menyediakan Rp 19,6 triliun untuk membantu 86,4 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin, kurang mampu, atau Rp 19.225 per orang tahun ini.
Direktur Utama Pelaksana Kesehatan DKI Jakarta, menilai program ini patut diselidiki karena BPJS tidak menanggung beberapa tindakan layanan seperti rontgen, ultrasonografi (USG), pemeriksaan darah, pemnyediaan ambulan, dan perawatan terhadap pasien khusus.
Sejauh ini Presiden SBY baru mengupayakan peningkatan insentif bagi tenaga medis dan dokter, sebagai hasil pertemuan SBY dengan para pengurus Ikatan Dokter Indonesia.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat kebijakan SBY tentang program kesehatan bagi pejabat negara yang sangat tidak adil bagi rakyat kecil. Dalam Pepres 105 dan 106 tahun 2013 yang menjamin fasilitas kesehatan bagi pejabat negara untuk berobat ke luar negeri.
Apapun kebijakan Pemerintah, haruslah memberikan kemudahan kemasyarakat. Bukan justru menambah beban hidup masyarakat. BPJS jangan sampai mencabut hak – hak masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H