Indonesian Corruption Watch merilis data yang menemukan fakta penerimaan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bermasalah. Sebanyak 19,4 persen dari total 405 ribu penerima KJP tidak sesuai dengan criteria penerima yang diperuntukkan bagi warga kurang mampu.
"Di antaranya, ada yang merokok, ada yang penghasilan orang tuanya lebih dari Rp 2,5 juta dan ada yang sekolahnya pakai mobil," kata koordinator divisi monitoring layanan publik ICW, Febri Hendri.
Kacaunya distribusi KJP ini disebabkan oleh sistem pendataan dan pengawasan yang lemah. Sehingga pelaksanaan program yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 778 miliar tersebut melenceng dari tujuan awal alias salah sasaran. Diduga ada pihak yang bermain dibalik program yang anggarannya tahun ini meningkat menjadi hingga Rp 1,5 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta Jokowi berkomentar santai, tidak ada reaksi keras yang berujung pada penindakkan atau sanksi tegas yang diberikan pada petugas penyelenggara KJP.
“Kami memang dapat data itu, jumlahnya tidak banyak. Dari 380 ribu ada satu, dua, tiga seperti itu. ada yang melakukan pungli kecil – kecilan sekitar Rp 50 ribu. Meski kecil – kecil tapi enggak boleh,” kata Jokowi.
Reaksi keras terhadap penyimpangan ini justru datang dari Wakil Gubernur Ahok. Dirinya mengatakan, bahwa pelaku pungutan liar itu akan diproses secara hukum. Dirinya juga berencana menggandeng KPK dan ICW dalam pelaksanaanya.
Benarlah kata banyak orang, Gubenur Jakarta itu sebenarnya Ahok bukan Jokowi karena kepedulian besar terhadap DKI justru datang dari Ahok bukan Jokowi. Ahok berkomitmen besar dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin Jakarta, sedangkan Jokowi lebih mengutamakan kepentingan partai dan pencapresannya.
Jokowi selalu menganggap remeh persoalan Jakarta. Sehingga dirinya tidak begitu ambil pusing dengan semua persoalan itu. Jokowi terkesan melimpahkan semua kerjanya pada Ahok, sementara dirinya hanya menikmati dan mengklaim kerja tersebut sebagai ajang “jual diri” alias pencitraan.
Jokowi selalu menggampangkan segala hal, begitu juga dengan janji dan sumpahnya kepada masyarakat dan Tuhan untuk membenahi Jakarta selama 5 tahun. Oleh karena itu, Jokowi tidak merasa ada masalah ketika dirinya menggigit lidahnya ketika melanggar sumpah tersebut.
Andaikan saja Jokowi fokus membenahi Jakarta, maka persoalan penyimpangan JKP tidak akan terjadi. Dirinya terlalu sibuk dengan urusan partai dan memburu jalan menuju istana. Akibatnya Jakarta terbengkalai, tidak ada program yang benar – benar tuntas dikerjakan. Tidak ada presatai apapun. Jokowi gagal, begitu juga dalam hal pengawasan program dan proyek DKI.
Jika mengurusi dan mengawasi satu program di level Provinsi saja Jokowi gagal, bagaimana mungkin kita dapat percaya Jokowi mampu mengemban tugas yang lebih besar sebagai Presiden RI? Jokowi harus berkaca pada kegagalannya selama memimpin Solo dan Jakarta. Tidak mungkin Jokowi bisa memimpin negera ini. Jokowi gagal, masyarakat harus mengetahui fakta tersebut agar tidak terbuai dengan bujuk rayu Jokowi dalam Pemilu 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H