Mohon tunggu...
Tuwanto Pebri
Tuwanto Pebri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mari memanusiakan manusia

Selanjutnya

Tutup

Money

Kita dan Ancaman Penjajahan Digital

8 Oktober 2017   14:19 Diperbarui: 8 Oktober 2017   14:40 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: crowdreviews.com


Beberapa hari ini sempat lekat ditelinga kita soal gaduh bangkitnya lagi PKI (tepatnya ideologi komunisme). Entah darimana asalnya isu ini, tapi telinga saya sedikit risih mendengarnya. Isu PKI bangkit seolah-olah menjadi isu yang lebih menarik dan urgent untuk dibahas hingga kita mengesampingkan beberapa isu global yang menjadi musuh dunia seperti terorisme, kerusakan alam, atau kemiskinan. Netizen diracun dengan isu bahwa PKI bangkit itu lebih menakutkan dibandingkan ancaman ISIS, laju deforestasi atau kerusakan alam yang kian besar, serta kesenjangan ekonomi yang kian lebar.  PKI adalah sejarah bangsa beserta dinamika masa lalunya yang akan selalu menarik untuk diketahui dan dikenang. 

Semakin menarik lagi ketika kita pelajari gagasan dari alimin, semaon, dan tan malaka. Hanya, untuk saat ini saya rasa kita punya musuh yang lebih besar dan seharusnya lebih penting untuk dibahas.  ISIS yang telah membangun jaringan secara global merekrut sekitar 500 hingga 600 warga negara Indonesia (BNPT), Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2015 mengatakan bahwa  kerusakan hutan Indonesia menjadi yang terparah di  dunia (sekitar 450ribu Ha pertahun), atau kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia yang setara dengan kekayaan 80 juta penduduk Indonesia adalah beberapa contoh masalah global yang telah terbukti secara empiris dan dampaknya dirasakan secara langsung. Sejujurnya kemiskinannlah yang menjadi masalah kita saat ini, kerusakan alam, korupsi, kesenjangan sosial, semua akan menghasilkan kemiskinan. Nah, tulisan ini akan mencoba sedikit membahas masalah yang saya kira akan berdampak langsung terhadap sendi-sendi ekonomi masyarakat dalam beberapa tahun kedepan, penjajahan digital (digital colonization).

Dunia saat ini tengah memasuki era ekonomi digital, tak terkecuali Indonesia. Kita telah diperkenalkan dengan berbagai bisnis digital serta start up yang menjadi kompetitor dan mendisrupsi secara perlahan para perusahaan yang semula berjaya. Beragam kemudahan dan kenyamanan ditawarkan dalam era ini, melalui e-commerce kita dapat membeli semua yang kita butuhkan dengan cepat, efisien, bahkan murah. Berdasarkan hasil riset Google dan Temasek berjudul "e-conomy SEA:  Unlocking the $200 billion opportuniy in Southeast Asia", pasar onlineIndonesia  siap meledak dengan nilai mencapai US$ 81 miliar pada 2025 dengan  pertumbuhan tahunan sebesar 26 persen. Dari total tersebut, 57 persen  atau US$ 46 miliar di antaranya berasal dari eCommerce. 

Indonesia diperkirakan mencapai 52 persen dari total pasar eCommerce di  Asia Tenggara pada 2025, naik dari 31 persen pada 2015. Pertumbuhan ini  didorong oleh populasi kelas menengah yang makin besar, peningkatan  akses internet, serta pertumbuhan kota tier2 dan 3 yang  memiliki akses terbatas ke ritel. Indonesia, per tahun lalu, memiliki 92  juta pengguna internet dan jumlahnya diprediksi menjadi 215 juta pada  2020

Namun, sebenarnya siapakah yang diuntungkan dari era ekonomi digital saat ini? Sayangnya, produk luar negeri nyatanya masih menguasai sekitar 60% pasar e-commerce, sedangkan pangsa UKM baru mencapai 40% (katadata.co.id). 

Pernahkah terpikir mengapa Alibaba dan Amazon begitu berinvestasi besar-besaran di e-commerce Indonesia? Platform e-commerce Indonesia sebagian telah digandeng oleh asing  seperti lazada dan tokopedia. Produk-produk produksi luar yang terkesan  lebih "wah" serta murah akan membanjiri pasar e-commerce kita, sangat  sesuai dengan  target berupa tipikal orang Indonesia yang konsumtif. Inilah yang disebut penjajahan digital, bagaimana barang produksi asing terjual bebas tanpa entry barier dan menghilangkan pajak yang seharusnya diterima negara. Dampaknya, pangsa pasar digital kita yang sedemikian besarnya akan dibanjiri oleh produk-produk asing dan mematikan para produsen lokal secara perlahan. 

Secara perlahan, para UMKM atau produsen yang belum mampu go digital, akan terdisrupsi dan tergeser oleh produk-produk asing.  Mungkin bila dulu SDA kita yang dijajah, kini pasar/ marketplace kita yang akan dijajah. Tidak ada pilihan lain kecuali mempersiapkan UMKM kita agar siap go digital, sehingga tidak kalah dengan produk asing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun