Mohon tunggu...
Tuwanto Pebri
Tuwanto Pebri Mohon Tunggu...

mari memanusiakan manusia

Selanjutnya

Tutup

Money

Kajian atas Framework Convention on Tobacco Control dalam Persepektif Studi Hukum Kritis

6 Juli 2015   21:41 Diperbarui: 6 Juli 2015   21:41 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Globalisasi sendiri sangat diwarnai oleh konvergensi dalam persaingan global yang menciptakan standarisasi kehidupan antarnegara. Mereka yang mendukung ide dan gagasan konvergensi melihat bahwa dunia telah bergerak untuk mencapai satu tujuan dan praktek sosial yang sama. Terdapat satu standar yang dipercaya universal untuk diterapkan di masing-masing negara. Namun, konvergensi tidak datang dengan mudah, karena biasanya diikuti oleh permasalahan-permasalahan lain seperti konflik lingkungan, jarak antara negara kaya dan negara miskin yang kian melebar, serta permasalahn seperti pertentangan budaya.

Dari keadaan tersebut dapat digaris bawahi bahwa globalisasi pada dasarnya adalah fenomena komersial bukan politis, para pengusaha melalui berbagai MNC (Multinasional Corporates) mereka memiliki bargaining posession yang lebih kuat dibanding para politisi. Dengan posisi tersebut, menjadi sebuah pertanyaan penting apakah peraturan-peraturan baru yang muncul sebagai suatu produk politis akan sepenuhnya netral dan tidak memihak kepentingan ekonomi para pengusaha karena melalui peraturan-peraturan ini diterapkanlah berbagai standarisasi minimum di berbagai bidang kehidupan masyarakat

b. Keadaan Industri Rokok Indonesia

Rokok, adalah salah satu budaya asli nusantara, yang secara historis sejak masa kolonial sudah menjadi simbol produk pengusaha bumiputera. Setelah berjalan selama berpuluh-puluh tahun lamanya hingga saat ini, keadaan industri rokok di Indonesia terus mengalami dinamika perubahan yang beragam. Dari posisi terjatuh hingga bangkit dan menjadi salah satu sektor bisnis idola para pengusaha. Rokok kretek adalah salah satu jenis rokok khas indonesia yang terdiri dari campuran tembakau dan cukai. Setelah sempat berjaya, kini perusahaan nasional yang memproduksi rokok kretek telah jatuh ke tangan pemodal asing, seperti Sampoerna yang diambil alih Philip Morris dan Bentoel yang diakuisisi British American Tobacco. Memang, di era global persaingan antar perusahaan adalah hal yang lumrah. Perusahaan multinasional dari negara maju seperti Philip Morris, British American Tobacco, Japan Tobacco Corp., China National Tobacco Corp., dan berbagai perusahaan rokok eropa akan semakin agresif membangun dan memperluas dominasinya.

Kontribusi cukai rokok terhadap perekonomian Indonesia tidak pernah turun hingga saat ini. Tahun 2013 mencapai Rp. 95,7 triliun. Tahun 2014 pendapatan negara dari cukai rokok 116,28 triliun. Tahun 2015 pemerintah menargetkan sekurang-kurangnya Rp. 120 triliun. Bahkan setelah ada perubahan APBN 2015, target dinaikkan menjadi Rp. 145 triliun. Disisi lain produksi rokok tidak berdiri sendiri tetapi bertalian dengan beberapa jaringan masyarakat, seperti petani tembakau, cengkeh, distributor, mediator, pekerja di bidang perekonomian, dan buruh rokok yang berjumlah Rp. 30,5 juta orang se-Indonesia. Terdapat ketergantungan ekonomi lebih dari 6 juta penduduk keluarga petani cengkeh dan tembakau di eks Karesidenan Kedu, Banyumas, Temanggung, bahkan luar jawa. [3]

Namun, berbanding terbalik dengan kontribusi dan pengaruhnya yang besar di sektor perekonomian, keberlangsungan industri rokok indonesia justru terancam oleh kebijakan pemerintah sendiri. Langkah Pemerintah untuk melindungi tembakau dan industri rokok terbilang kurang. AS misalnya membantu proteksi atas industri rokok dan tembakau tersebut secara maksimal, termasuk melalui Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act yang secara cukup eksplisit menunjukan hambatan non-tarif terhadap produk tembakau impor. Di China dan Rusia memberlakukan kebijakan yang tidak lazim, yakni menyarankan masyarakatnya untuk merokok sebagai solusi menghadapi krisis. Pemerintah Indonesia justru memberi perlakuan yang memojokkan keadaan industri rokok dan tembakau nasional dengan upaya-upaya memasukkan prinsip-prinsip FCTC dalam hukum nasional. Kebijakan ini dilakukan dengan kebijakan pengalihan tanaman, pengurangan subsidi pertanian tembakau, menaikkan cukai, dan larangan merokok di tempat umum. [4] Di sisi lain pemerintah juga terus didesak agar segera meratifikasi FCTC, selain alasan komitmen atas kesehatan masyarakatnya, Indonesia juga adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi tersebut. Namun, rencana atas ratifikasi konvensi tersebut tidak bisa diterima secara taken for granted, harus ditinjau lagi lebih dalam implikasinya.

c.Kajian terhadap FCTC (Framework Convention on Tobacco Protokol) dari kacamata Critical Legal Studies

Critical Legal Studies atau studi hukum kritis mengembangkan pemikiran dan ajaran yang pada garis besarnya bertujuan untuk menentang atau setidaknya meninjau kembali norma-norma, standar-standar, dari sistem hukum dan implementasinya dari apa yang dikenal sistem hukum modern. Dalam pandangan studi hukum kritis keadaan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini mereka yang kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan. [5]

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya FCTC adalah salah satu instrumen internasional yang disusun oleh negara-negara anggota WHO dalam upaya mengendalikan tembakau, sebagai buah dari kesepahaman bersama bahwa tembakau yang tidak dikendalikan akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dunia.Hingga akhir tahun 2014 sudah ada 177 negara meratifikasi FCTC, sedangkan Indonesia belum meratifikasi. Sebagaimana tertulis dalam pembukaannya, tujuan FCTC adalah untuk "melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau”.[6]

Pudarnya batas-batas negara sebagai salah satu implikasi globalisasi mengakibatkan hubungan antarnegara menjadi semakin mudah, atau dalam arti lain saling terkoneksi satu sama lain. Jalinan hubungan yang terjalin, akan menimbulkan tuntutan agar adanya persamaan hak dan kewajiban atas perlakuan dan standarisasi yang ada di satu negara dengan negara lainnya. Salah satu cara menciptakan standarisasi adalah dengan membuat perjanjian yang disepakati oleh negara-negara yang saling berhubungan, misalnya saja dalam FCTC yang menciptakan standarisasi atas kesehatan manusia terkait dampak dari tembakau. Namun, dalam praktiknya FCTC bukan hanya digunakan untuk standarisasi kesehatan, tetapi juga dipergunakan oleh negara-negara maju sebagai hambatan perdagangan terkait impor rokok dari luar dengan alasan kesehatan.

Beberapa pasal dalam FCTC juga membawa implikasi yang sangat luas bagi industri rokok nasional, utamanya rokok kretek. Pasal 6-7 FCTC yang mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok.[7] Kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau tentu akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun