Perdebatan mengenai hukuman mati sepertinya senantiasa membayangi dunia hukum Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh harian Republika, saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (9/12), Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa saat ini ada 64 pengedar narkoba terpidana mati yang mengajukan grasi, namun Presiden menegaskan tidak memberi pengampunan bagi pelaku kejahatan narkoba. Presiden mengatakan Republik Indonesia sudah sampai ke tahap darurat narkoba sehingga ia tidak akan mengabulkan grasi yang diajukan pengedar narkoba.Tindakan ini tentu sangat berbeda dengan presiden terdahulu, SBY, yang memberikan grasi terhadap beberapa terdakwa yang menerima hukuman mati.
Beberapa pihak mendukung penuh keputusan dari Jokowi ini, namun saya pribadi yang memang hingga saat ini menolak adanya hukuman mati justru merasa sangsi terhadap keputusan presiden ini. Entah terlena oleh pujian-pujian yang akhir-akhir ini dialamatkan kepada dirinya karena pilihannya untuk menenggelamkan kapal asing yang melakukan ilegal fishing atau karena memang presiden benar-benar paham persoalan hukum dan HAM yang dihadapi dalam masalah hukuman mati ini. Dalam konteks penolakan pemberian grasi terhadap terpidana mati ini, saya justru disini melihat presiden termasuk kita semua yang sering mendebatkan masalah hukuman mati itu sendiri lupa akan tujuan hukum dalam mewujudkan keadilan.
“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Prof. Satjipto Rahardjo)
Dari pemikiran Prof Tjip tersebut kita harus mengkaji lagi penerapan hukuman mati ini kedalam filosofis dasar hukum itu sendiri, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Dari keputusan yang dibuat presiden Jokowi saya tidak melihat adanya Hukum yang Pro-keadilan dan Pro-Rakyat disini. Kita semua sepakat bahwa keadilan yang hakiki hanya milik Tuhan, tetapi setidaknya kita dapat mendekati keadilan tersebut. Alasan-alasan yang menyatakan bahwa hukuman mati diberikan sebagai upaya untuk mencegah peredaran narkoba semakin meluas di Indonesia adalah tindakan pro-rakyat merupakan salah besar. Berkacalah pada kasus terorisme yang selama ini terjadi, pemberian hukuman mati terhadap Amrozy sebagai pelaku bom bali sama sekali tidak menurunkan angka terorisme yang terjadi di Indonesia. Begitupula untuk masalah korupsi, ancaman pidana mati (meski sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada koruptor yang dihukum mati) tidak memberikan efek jera, bandingkan saja antara Denmark yang tidak menerapkan hukuman mati dengan China yangs ampai saat ini masih menerapkannya. Inkonsisten. Disisi lain pemerintah selalu didesak untuk menyelamatkan penghapusan hukuman mati terhadap para TKI di negara lain, tetapi disini justru Pemerintah justru masih menerapkan hukuman mati itu sendiri.
Presiden harus berani memberikan keputusan yang tidak populer demi pencerdasan moral rakyat. Selama ini pemahaman publik termasuk presiden disini terhadap hukuman mati masih terlihat kabur dan salah kaprah. Perlu dipahami bahwa negara tidak punya hak untuk mengakhiri hidup seseorang. Siapapun yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, layak dihukum, tapi bukan hukuman mati. Tidak ada bukti ilmiah hukuman mati dapat menjadi efek jera dan pilihan hukuman mati akan menampilkan citra Indonesia sebagai bangsa yang tidak konsisten terhadap penerapan hukuman mati.
Diberinya grasi terhadap para gembong narkoba BUKAN berarti pemerintah tidak bersungguh-sungguh memerangi peredaran barang haram ini. Justru sebaliknya apabila Indonesia ingin lebih maju, modern, dan beradab, maka perlu menghapuskan penghukuman mati sebagai jalan terakhir. Tidak boleh hukuman mati dilandaskan dendam dan embel-embel efek jera. Saya pribadi setuju terhadap hukuman berat yang diberikan kepada para gembong narkoba, tetapi bukan hukuman mati, melainkan dengan penjara seumur hidup tanpa adanya grasi. Bahkan, apabila terbukti ada sindikat narkotika lintas penjara, yang menurut Badan Narkotika Nasional dikendalikan oleh terpidana narkoba, justru menunjukan lemahnya sistem pengawasan dalam penjara Indonesia. Bukankah sudah menjadi rahasia publik di dalam penjara Indonesia, seperti yang biasa tertangkap dalam sidak terdapat beberapa narapidana yang menggunakan handphone atau sarana komunikasi lainnya.
Apabila kita disini masih menjadi corong undang-undang dan secara naif menyetujui hukuman mati, maka dapat disimpulkan tujuh belas tahun pasca reformasi tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi problematik hukuman mati ini dan yang lebih memprihatinkan lagi hukum sudah menjadi seperti barang dagangan (business – like) karena hanya mengikuti arus pasar serta pendapat umum demi meningkatkan citra ketegasan semata. Ingatlah, tegas tidak sama dengan efektif, apalagi pecitraan terhadap ketegasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H