KOPRI (Korps PMII Putri) dan kartini sebagai perempuan, yang sama-sama memperjuangkan apa yang menjadi haknya.
Dalam memperingati hari lahir R. A. Kartini atau dengan nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat itu, saya ingin sedikit merefleksikan mengenai arti semangat juang yang dipikulnya, di saat kuatnya pengaruh penjajahan di bumi nusantara.
Saya yang terlahir sebagai seorang perempuan Indonesia, merasa perlu untuk membuat catatan kecil ini sebagai bentuk hadiah kecil saya dalam memperingati sejarah. Khususnya sejarah yang mengangkat nama seorang perempuan sebagai pelopor gerakan emansipasi terhadap sistem patriarki di kala itu. Yaa ..., Itu R.A. Kartini.
Siapa yang tidak kenal dengan Kartini. Banyak sekali risalah yang telah menuliskan tentang sosok seorang Kartini. Yang di kala itu menunjukan keberaniannya kepada kita sebagai kaum perempuan, bahwa dia merasa tidak adanya sebuah keadilan. Ia melawan segala macam bentuk penindasan yang di alami perempuan ; sosial, politik, pendidikan, dan bahkan melawan aturan-aturan (adat istiadat) yang telah menjadi dogma oleh masyarakat namun berimplikasi kepada terenggutnya hak-hak perempuan nusantara. Khususnya Jawa.
Selaku perempuan yang terlahir dalam wadah pergerakan, mampu kiranya untuk bisa (terus berupaya) mengambil sejarah ini, sebagai dorongan untuk membangkitkan kembali semangat juang kaum perempuan dalam perjalanan peradaban kedepan.
Dan dengan belajar dari semangat juang dalam melawan mata rantai patriarki oleh Kartini, saya pun menyadari bahwa masih banyak ketimpangan atas ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan di masa sekarang. Misalnya, angka kekerasan terhadap kaum perempuan yang terus bertambah setiap tahunnya, serta masih maraknya pandangan hingga praktek-praktek yang dilakukan oleh segelintir orang untuk memarjinalkan kaum perempuan.
Tidak heran, budaya seperti ini masih sering terjadi. Sekalipun zaman yang sudah jauh berbeda dengan era dimana Kartini menjalankan aksi perlawanannya, akan tetapi perlu kiranya memahami dan menjaga spirit emansipasi ini untuk tetap hidup.
Pandangan akan laki-laki yang lebih pantas mendapatkan posisi yang tinggi dalam segala aspek, harus dipatahkan. Sebab kita tahu bersama, laki-laki dan perempuan tidak bisa dibanding-bandingkan apalagi dipertentangkan. sampai bisa berakibat termarjinalnya perempuan. Seyogyanya pandangan kita terbuka, bahwa yang membedakan hanyalah aspek biologis atau jenis kelamin saja.
Dan sebagai kader KOPRI, saya menyadari betul yang terjadi saat ini tinggallah membentuk kesadaran dalam memandang segala hal. Termasuk memberi ruang untuk perempuan agar bisa mengeksplorasi, berkreasi bahkan terlibat dalam aksi-aksi yang bermuatan kontribusi untuk agama, bangsa dan negara.
Memperingati hari Kartini berarti tidak hanya sekedar mengingat atau merefleksikan semata, melainkan bisa mengamalkan semangat kepahlawanannya. Jika perempuan diartikan hanya sebatas di kasur, sumur dan dapur maka matilah pergerakan kaum perempuan. Untuk itu semua perempuan harus dituntut untuk terus bergerak, tidak hanya menjadi perempuan yang eksis tetapi juga berdedikasi dan berkontribusi pada negeri.
Dengan tetap menjaga kewarasan, dalam arti universal, maka kaum-kaum perempuan (khususnya KOPRI) bisa membawa martabat keperempuanan jauh lebih baik kedepannya.
Semangat yang terpatri dari nilai ke-PMII-an sejatinya sudah merupakan modal besar.
Memahami dengan menjadi KOPRI berarti menjadi Kartini. Maksudnya adalah dengan terus berupaya dan berproses dalam gerakan melawan ketidakadilan, kejumudan, kesengsaraan dan segala aspek yang dinilai tidak sesuai dengan martabat kaum perempuan. Dan, semoga, dari sinilah akan ada titik terang seperti ungkapan termasyurnya Kartini di kala itu. "Habis gelap, terbitlah terang".
Penulis : Ucan Pakaya (Salah satu kader PMII Bolmong)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H