Mata lelaki tua berambut berombak itu masih saja menatap lautan lepas, entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Setiap hari, bahkan setiap waktu, lelaki tua dengan kulit terbakar matahari selalu saja berdiam sambil bersila menghadap laut Jawa. Di bawah pohon waru yang teduh, mulutnya terlihat komat-kamit seperti merapal kalimat, entah doa, entah mantra, tidak ada yang tahu.
Sebagian besar warga dusun Têkek mengenalnya sebagai lelaki tua yang ramah, lantaran selalu saja terlihat sebuah senyum manakala berpapasan dengan warga dusun. Namun, sayangnya warga dusun tidak ada yang mengetahui nama dan asal-usulnya. Warga hanya memanggilnya dengan nama mbah Layar, karena jubah kumal yang dikenakannya selalu berkelebatan layaknya sebuah layar jung yang diterpa angin laut. Jika diterka, kemungkinan usia mbah Layar sudah berkepala enam atau tujuh, lantaran gurata-guratan di wajahnya yang bisa dibilang tidak sedikit lagi. Tetapi tidak ada yang tahu pasti, sebab sampai saat ini, belum ada seorang warga yang pernah bercakap-cakap dengan mbah Layar.
"Mbah Layar itu baik orangnya, tetapi bahasanya itu lho yang tidak kita mengerti", begitulah ujar pakdhe Êntung kala ditanya perihal keberadaan mbah Layar di dusun Têkek.
Selain itu, beberapa warga dusun yang tinggal tidak jauh dari bibir pantai berujar bahwa mbah Layar tak ubahnya sebagai seorang wali. Menurut mereka, mbah Layar bisa mendatangkan dan menolak angin badai. Pernah suatu ketika, angin ribut yang datang dari utara hampir memporak-porandakan dusun Têkek, tetapi dengan "kekuatan" mbah Layar, angin ribut itu pun akhirnya luluh. Entah kekuatan apa yang dimaksud. Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, ketika musim hujan tak kunjung tiba, mbah Layar terlihat di luar kebiasaannya, waktu itu mbah Layar menghilang pergi entah kemana, dan sekembalinya, hujan pun datang, kekeringan pun tidak jadi menghantui dusun Têkek. Meskipun banyak warga yang mempercayai kekuatan gaib mbah Layar, salah seorang tokoh agama di dusun Têkek tetap menghimbau warga dusun agar tidak berlebihan menyikapi fenomena tersebut.
"Aneh memang, tetapi kalau sudah kuasa gusti Allah, ya terjadi", begitulah ujar Lik Randhu, salah seorang tokoh agama dusun Têkek, dan merupakan santri almarhum mbah Watu yang juga dianggap sebagai wali oleh warga dusun Têkek.
------------------
Seperti pagi sebelumnya, udara sejuk pagi cepat berganti menjadi terik, lantaran bentang alam dusun Têkek yang berada di tepian laut jawa. Namun, terik bukanlah halangan bagi warga dusun untuk berkarya menggarap sumberdaya alam dusun Têkek. Sebagian besar warga dusun berkarya sebagai nelayan, sedangkan sisanya berkarya sebagai pencari buah mangrove dan sisa lainnya berkarya sebagai buruh di pasar yang tidak begitu jauh dari dusun Têkek.
Bergantinya waktu menjadi siang, semakin sunyi suasana perkampungan dusun Têkek, suasana riuh beralih ke bibir pantai, berpuluh-puluh perahu dan jukung nelayan bersandar ke pantai setelah semalaman mengarungi laut. Istri-istri dan anak-anak nelayan riang menyambut sang kepala keluarga yang tiba dengan sejumlah rejeki di perahu dan jukungnya. Beberapa tengkulak pun tak ketinggalan menunggu datangnya rejeki yang sebentar lagi menghampiri kantungnya. Namun, akhir-akhir ini, para tengkulak sudah tidak mendapat tempat di hati warga nelayan dusun Têkek. Lantaran sebagian besar nelayan dusun Têkek sudah tidak menjual hasil tangkapannya ke tengkulak. Entah apa sebabnya. Menurut pakdhe Êntung, hasil tangkapan ikan menurun akhir-akhir ini lantaran cuaca yang sedang tidak bersahabat, sehingga nelayan enggan menjual hasil tangkapan yang bisa dibilang tidak terlalu banyak ke para tengkulak, para nelayan pun beranggapan kalau para tengkulak justru menyulitkan kehidupan mereka. Entah apa maksudnya pakdhe Êntung tersebut.
Terik pun semakin menjadi-jadi. Namun, semilir angin laut meredam terik siang. Beberapa anak yang belum genap sepuluh tahun riuh memainkan bola dari buah kelapa tak jauh dari bibir pantai tempat perahu-perahu nelayan tertambat. Beberapa anak yang lain tengah terlihat bersiap memacu jukung kecilnya melaju ke arah pulau karang yang tak begitu jauh jaraknya dari garis pantai. Tak hanya itu, di sela-sela waktu rehatnya, kebanyakan nelayan dusun Têkek menghabiskan waktunya dengan memperbaiki jaring dan juga membuat jaring baru.
Hembusan angin laut yang kadang-kadang kuat dan kadang-kadang lembut menyapu rimbunnya pepohonan waru yang tumbuh berjajar bagaikan benteng pemisah antara pantai dengan perkampungan dan berpuluh-puluh tegakan pohon kelapa yang kokoh menjulang tinggi menantang langit. Beberapa rumpun mangrove yang tumbuh di sisi kiri dusun Têkek pun terlihat ramai kala hari beranjak sore, lantaran beberapa warga menghabiskan waktunya dengan memancing di sela-sela akar mangrove. Gesekan-gesekan dedaunan dan riak-riak ombak yang terpecah menghantam akar-akar mangrove dan lambung-lambung perahu nelayan telah menciptakan alunan khas yang merdu.
Hembus angin laut perlahan-lahan menyapa sesosok tua di bawah rindangnya pohon waru. Jubah lusuh berwarna putih kusam pun berkelebatan, diiringi ceracau yang memang sampai saat ini belum dimengerti oleh warga dusun. Entah merapal mantra, entah berdoa, ataukah mengutuki nasib, entah, tidak ada yang tahu. Sekilas sesosok tua di bawah pohon waru seperti seorang pertapa dan juga seorang kyai jaman dulu.