Penurunan daya beli masyarakat, telah menjadi bahan pemberitaan yang hangat bahkan panas hampir sebagian besar media beberapa bulan lalu, mungkin masih berlanjut sampai catatan ini ditulis. Satu kubu mempercayai bahwa kebijakan pemerintah-lah yang menyebabkan kondisi ini, sedang kubu satunya berpendapat bahwa daya beli masyarakat tidak menurun. Penurunan daya beli dikhawatirkan akan mempengaruhi perekonomian suatu negara.
"Lho apa kaitannya isu nasional tersebut dengan tulisan blog yang harusnya berisi tentang mlaku-mlaku alias jalan-jalan?"
Begini lho, paragraf di atas hanya awalan saja, bukan bermaksud pro pada satu kubu atau kubu lainnya. Lanjutannya begini, daya beli masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang menurun, salah satu bukti adalah banyak sektor ritel yang gulung tikar, bahkan mungkin mall banyak yang terlihat sepi pengunjung. Namun, menurut hemat penulis berdasar membaca kanan-kiri, ternyata yang terjadi akhir-akhir ini adalah pergeseran pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Ada yang bilang jaman sudah berubah, teknologi semakin berkembang, salah satunya adalah teknologi informasi. Salah satu pergeseran tersebut adalah terjadinya peningkatan daya beli masyarakat secara daring. Kemudian daya beli masyarakat bergeser ke arah kuliner. Ada yang bilang, saat ini bisnis kuliner sedang bagus-bagusnya. Handphone semacam smartphone dan pulsa internet juga merupakan arah pergeseran konsumsi masyarakat Indonesia. Lalu, saat ini juga banyak masyarakat yang inginnya menabung atau membelanjakan uangnya untuk investasi, seperti reksadana dan saham. Jika di beberapa masa silam, investasi seperti itu hanya dipikirkan oleh kalangan atas, saat ini investasi sudah dilakukan oleh masyarakat menengah.
Kemudian pergeseran konsumsi masyarakat Indonesia berikutnya adalah travelling.Â
Lho kok travelling?
Ya benar, banyak masyarakat saat ini membelanjakan uangnya untuk jalan-jalan atau nge-trip ata istilah baratnya, travelling. Pada umumnya pergeseran di sektor jalan-jalan banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat muda, dan Republik Indonesia kebetulan mempunyai populasi masyarakat muda yang terbilang besar. Saat ini, ibaratnya hampir semua tempat wisata di negeri ini dapat kita ketahui hanya melalui internet dan media sosial, seperti instagram, twitter, youtube dan facebook. Tidak lain disebabkan oleh masifnya masyarakat yang pergi jalan-jalan kemudian mengabadikannya dan mengunggahnya ke media sosial, baik foto atau video vlog ataupun tulisan seperti blog ini.
Menurut hemat penulis, media sosial merupakan salah satu bukti anomali pergeseran pola konsumsi masyarakat seperti ini. Bahkan saat ini banyak akun-akun di media sosial atau internet yang khusus berisikan tentang jalan-jalan alias travelling. Selain bukti nyata, akun-akun tersebut dapat menulari masyarakat lainnya yang awalnya tidak membelanjakan uangnya ke arah travelling menjadi akan membelanjakan uangnya ke travelling. Atau bukti lainnya dari anomali ini adalah selalu membludaknya setiap event tentang travelling, apalagi yang ada diskonnya.Â
Bahkan, penulis sering mendengar bahwa, sebagian besar dari masyarakat yang menggeserkan konsumsinya ke arah travelling, mereka rela memotong konsumsi harian hanya untuk travellingdan juga membeli peralatan yang mendukungnya, seperti kamera.Â
Kamera, salah satu benda yang wajib dimiliki oleh para travelleratau backpacker, dapat berupa kamera handphone, action camera, kamera pocket atau pun kamera yang lebih profesional seperti mirrorless dan DSLR. Benda ini, menurut pengamatan penulis secara diam-diam, juga lagi tinggi-tingginya perdagangannya. Dari yang murah sampai yang termahal, tampaknya selalu laku di pasaran. Kamera adalah inti dari perekaman suatu kegiatan atau peristiwa, sehingga mungkin ada yang nyelethuk bahwa no pic, hoax.Â
Maka dari itu, kamera harus selalu menemani setiap kegiatan jalan-jalan yang kita lakukan, apa pun kameranya. Jalan-jalan sambil memotret adalah candu, menurut penulis.Â