Menjadi pegawai minimarket memang memerlukan mental yang bener-bener kuat. Begitulah yang sering di keluhkan temanku yang saat ini masih bertahan di sebuah minimarket demi menghidupi dirinya sendiri.
Bukan hanya target dari atasan yang kadang harus benar-benar tercapai, tapi juga harus meladeni berbagai psikologi, watak dan ego dari konsumen.Â
Ditambah drama kantor juga tak luput dari mereka yang mungkin tak terpikir dalam benak kita.
Apasih pekerjaan mereka?
Sungguh enak kerja di ruangan, tidak kehujanan dan kepanasan. Mungkin begitulah kiranya stigma yang saya dan kita sematkan pada mereka selama ini. Gaji sudah UMR dan ada jenjang karir pasti. Namun, dibalik itu semua ada gunung es yang tak terlihat yang hanya bisa dirasakan oleh para pegawai swalayan.
Kita sudah terlanjur hina melihat pegawai minimarket apalagi karena ulah oknum didalamnya. Contohnya saja dari uang donasi dan kembalian yang kadang di bulatkan. Yang mana, membuat saya pernah was-was juga uang 200 rupiah saya yang berharga masuk ke kantong kasir. Yang untungnya saya bukan penganut frugal living yang taat.
Namun, setelah saya telusuri lebih dalam, dengan bertanya pada teman saya yang seorang pegawai disana, rata-rata kasir harus nombok kala habis kerja. Alih-alih untung malah buntung. Terus kemana dong uang donasi itu dikirimkan?
Dasar saya yang punya pikiran jahat, ternyata umumnya pihak perusahaan sudah menjalin kerjasama dengan lembaga kemanusiaan untuk menghimpun dana donasi dari konsumen. Sehingga uang hasil donasi bisa tersalurkan lewat program kemanusiaan ataupun CSR perusahaan. Dimana melihatnya? Bisa dengan membuka website perusahaan dan media sosial. Jadi sudah jelas bagaimana uang 200 kita disalurkan.
Penyaluran donasi oleh Alfamart
Lebih lanjut, perusahaan umumnya tidak mentolerir jika ada karyawan mereka yang tidak memberikan diskon, uang kembalian bahkan permen pun sudah dilarang.