Pasca kekalahan 2-3 Timnas Indonesia dari Malaysia pada Kamis, 5 September lalu, segala macam alibi menguap ke permukaan. Dari staff pelatih, pemain, federasi hingga ranah supporter membawa alasannya tersendiri untuk membenarkan persepsi apa yang terjadi di dalam dan luar lapangan.
Dari pelatih, Coach Simon McMenemy mengkritisi ketatnya liga 1 yang berimbas pada kondisi pemain timnas yang loyo di babak kedua. Dari luar lapangan, Supporter mencoba membenarkan perilaku mereka dalam kerusuhan yang terjadi.
Baca juga: Oktober, Bulan penyambutan The Joker
Namun, terlepas dari pembenaran tadi, apa yang perlu dibanggakan di sepakbola Indonesia sejauh ini? Selain pasang surut prestasi, semangat perubahan ke arah yang lebih baik juga hanya sebatas kalimat.
Salah Federasi?
Dalam kurun waktu satu dasawarsa, timnas senior mengalami naik turun prestasi. Kita dibuat terbang berkat penampilan gemilang tim nasional di AFF 2010 dan 2016, sebelum akhirnya dihempaskan kembali ke bumi dengan spontan. Selain karena seringnya pergantian pelatih dan tak sabarnya supporter kita pada proses, kompetisi liga dan tubuh internal PSSI juga menjadi sorotan.
PSSI, sebagai federasi induk sepakbola Indonesia, malah menjadi organisasi paling dibenci penggemar bola tanah air. Selain skandal yang menimpa jajaran pimpinannya beberapa waktu lalu, kurangnya transparansi, pengelolaan liga yang kurang baik serta keseriusan dalam mengembangkan kompetisi yang jujur dan menjunjung tinggi nilai fair play sering kali di pertanyakan. Kecurigaan ini terus dipelihara karena napak tilas PSSI itu sendiri.
Dimulai dengan jadwal liga, dari awal kick off, Jadwal pertandingan, regulasi hingga hukuman yang sekarang jadi perhatian, selalu saja berakhir tak jelas dan plintat-plintut.Â
Dari denda saja PSSI sudah mengantongi uang milyaran rupiah dari klub. Selain itu, transparansi dan kejelasan kemana larinya uang denda tak jelas muaranya.Â
Jika terus seperti ini, level liga akan semakin jauh dari negara tetangga dan malah mengawetkan ketidakpercayaan publik pada federasi kita ini.