Mohon tunggu...
Dicky Rahardjo
Dicky Rahardjo Mohon Tunggu... -

S2 Administrasi RS, Univ Indonesia Pengurus Ikatan Konsultan Manajemen RS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ki Hajar Dewantara Menggugat!!!

2 Mei 2015   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yogyakarta 2 Mei 1889 Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, terlahir ke dunia. Sebagai seorang aktivis pendidikan pada masa penjajahan Belanda, beliau sangat memahami apa saja yang dibutuhkan bagi pengembangan Sumber Daya Manusia di bumi nusantara tercinta ini. Tentu beliau belum bicara masalah kurikulum berbasis kompetensi, atau sertifikasi bagi para guru yang mengajar di sekolah Taman Siswa. Boro-boro mikirin sertifikasi, mungkin mencari seseorang yang cukup punya keberanian untuk mengajarkan keilmuan bagi anak-anak didiknya di sekolah yang didirikannya, tidak serame antrian pendaftaran CPNS !

Dalam memberikan prinsip dasar pengajaran di sekolah Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara memberikan filosofi yang dijadikan pedoman bagi seorang seluruh guru yang diperkenalkan sebagai Patrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh beliau setelah mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh tokoh pendidikan dari Italia yaitu Maria Montessori dan Rabindranath Tagore dari India. Filosofi Patrap Triloka ini memiliki unsur-unsur yang disanpaikan dalam bahasa Jawa, sebagai:

·ing ngarsa sung tulada artinya (yang) di depan memberi teladan,

·ing madya mangun karsa artinya (yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif, dan

·tut wuri handayani , (yang) dari belakang harus mendukung.

Yang akhirnya filosofi Patrap Triloka ini digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia.

Di era modern yang sangat banyak tuntutan ini, nilai-nilai dari filosofi Patrap Triloka ini sudah bergeser, melenceng dan berbelok liar mengikuti arus zaman yang penuh dengan filosofi INSTAN !!, bahkan Kementerian Pendidikan Republik Indonesia tercinta ini ikut-ikutan mabuk INSTAN !! (mudah-mudahan yang Menteri pendidikan saat ini tidak ikutan INSTAN!!).

Kita lihat  guru-guru kita saat ini, mereka diberi tuntutan untuk meningkatkan kompetensi dengan mengajarkan kurikulum yang katanya berbasis kompetensi. Namun ujung-ujungnya teteeeeep, murid banyak ditinggal keluar kelas tanpa alasan jelas (katanya sih belajar mandiri), lalu ketika selesai ulangan atau ujian harian, murid-murid diminta koreksi bersama!!!! (gak semua guru sih tapi lumayan banyak aneh bin ajaib ini). Lalu sikap guru sangat disiplin dan tegas ketika musim kenaikan kelas, tapi sikap ini berubah 180 derajat ketika dahulu UN masih jadi penentu kelulusan dan penerimaan di level pendidikan berikutnya, sang guru bisa langsung perintahkan siapkan contekan dan anjurkan yang pintar untuk bantu yang kurang pintar, ooooh kok gitu ya?

Mungkinkah ini akibat dari salah satu faktor penilaian kinerja sekolah dan guru adalah jumlah kelulusan UN saat itu? Walahualam, karena mustinya semua pihak paham kerja guru tidak saja mentransfer ilmu pengetahuan agar anak didik meningkat ketrampilan dan pengetahuannya saja, namun juga sikap perilaku yang baik agar dapat mengimplementasikan keilmuan yang didapatkan ke kehidupan masyarakat banyak.

Masih banyak institusi pendidikan yang mendewakan ketrampilan dan pengetahuan tanpa memberikan porsi pengembangan sikap perilaku. Sehingga jangan kaget jika institusi-institusi pendidikan tersebut tidak akan mendapatkan kualitas lulusan yang memadai, karena pada dasarnya KOMPETENSI itu sendiri terdiri dari Ketrampilan, Pengetahuan/Wawasan dan Sikap Perilaku. Tidak bisa kita mengukur kompetensi seseorang dari hanya faktor ketrampilan dan pengetahuan saja, namun harus diikuti dengan sikap dan perilaku yang baik dan mendukung faktor lainnya.

Tidak perlu jauh-jauh ambil filosofi Eropa atau filosofi China, cukup dengan filosofi Patrap Triloka ini yang maknanya justru kita harus membangun sikap dan perilaku yang baik dan dapat mendukung pengembangan ketrampilan dan pengetahuan. Coba kita renungkan dan maknai setiap kalimat dalam Patrap Triloka ini.

ing ngarsa sung tulada artinya (yang) di depan memberi teladan, berarti yang dianggap sebagai pimpinan, baik pimpinan pendidikan yaitu guru, dosen dan pengajar lainnya harus dapat memberikan teladan bagi yang mengikutinya yaitu para murid, mahasiswa dan masyarakat lainnya. Berat sekali menjadi panutan ya....

ing madya mangun karsa artinya (yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif, berarti semua elemen pendidikan baik sang guru, dosen, pengajar, murid, mahasiswa dan masyarakat harus memilki sikap membangun, mengembangkan sesuatu yang inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, tidak hanya menunggu arahan kebijakan dari pemimpin negara atau daerah.

Yang terakhir tut wuri handayani , (yang) dari belakang harus mendukung, berarti jika kita dalam suatu waktu hanya bisa sebagai pengikut bukan sebagai penggagas program atau aturan yang baik, maka wajib bagi kita untuk mendukung program kegiatan tersebut, bukannya malah merecoki, menyindir tanpa usaha, mengkritik tanpa saran!

Jika ketiga hal ini kita dapat maknai dan jalankan dalam setiap sendi kehidupan kita (tidak hanya pendidikan), saya yakin Ki Hadjar Dewantara tidak perlu menggugat penyelewengan filosofi yang beliau bangun dan kembangkan bagi dunia pendidikan di tanah air tercinta ini! Semoga.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun