Begitu pula ketentuan Pasal 88 c yang memperkuat protokol kesehatan dalam masa kampanye berupa langkah pencegahan dan penindakan pelanggaran, dengan melarang kegiatan lain dalam metode kampanye berupa rapat umum, kegiatan sosial, konser musik, kegiatan kebudayaan dan lain-lain yang diselenggarakan oleh pasangan calon, tim kampanye dan pihak lain.
Dengan revisi PKPU ini, jelas terlihat bahwa KPU telah mengoptimalkan langkah progresif yang sangat siginifikan dalam penguatan protokol kesehatan baik pencegahan, pengendalian, pembatasan, penindakan, serta inovasi media sosial dan internet.Â
Dan yang paling penting bahwa penyelenggaraan pilkada dengan PKPU terbaru ini melarang kampanye seperti kegiatan rapat umum, konser musik, kegiatan sosial dan sejenisnya yang berpotensi menghasilkan kerumunan atau keramaian sehingga bisa memicu siginifikansi klaster baru penularan Covid-19.
Plus - Minus Kampanye Dalam Jaringan (Daring)
Masa kampanye pilkada akan berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020.Â
Dalam PKPU, dirincikan bahwa kampanye Pilkada kali ini dapat dilaksanakan dengan beberapa metode, diantaranya, berupa pertemuan tatap muka dan dialog terbatas, debat publik atau debat terbuka antar paslon, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, penayangan iklan di media cetak, media elektronik, media sosial, dan/atau media online lainnya, serta kegiatan lain yang tidak melanggar larangan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (Kompas.com, 24/9/2020).
Dari beragam bentuk kampanye tersebut, ternyata kampanye daring melalui media sosial atau media online di masa pandemi ini cukup banyak direkomendasikan oleh berbagai pihak. Mengapa demikian? Sebab jika merujuk data terbaru, jumlah pengguna internet pada akhir Januari 2020 sebanyak 175,4 juta orang dari total penduduk 272,1 juta jiwa.Â
Dari jumlah itu, bisa dilihat bahwa hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Karena itu, kampanye melalui media sosial (internet) adalah bentuk kampanye yang cukup efisien dan efektif di masa pandemi ini. Tentu beragam pesan politik dan ajakan khas-unik, baik yang indirect maupun direct akan membanjiri halaman media online, khususnya media sosial.
Kendati demikian, kita tak bisa menampik fakta bahwa kampanye daring melalui media sosial (internet) saat ini sepi peminat (Pos Kupang, 8/10/2020). Tidak sedikit paslon yang mengeluhkan kondisi ini. Ternyata benar bahwa kampanye daring hanya bisa dilakukan di sebagian daerah saja, khususnya di kota yang memiliki akses internet cukup baik.Â
Sedangkan kalau melihat kondisi kita di NTT, masih ada kendala akses internet di banyak kecamatan pinggiran (terpencil) di daerah yang menggelar Pilkada. Tentunya daerah yang akses internetnya masih terbatas akan menyulitkan para paslon dalam menyapa para calon pemilih. Di lain sisi, para calon pemilih juga pasti tidak akan mengetahui secara jelas siapa calon yang akan dipilihnya beserta visi misi yang menjadi unggulan.
Jika hal ini tidak diindahkan, tentu pelaksanaan kampanye daring seperti yang diimpikan tidak akan berjalan optimal. Hakekat kampanye daring untuk memperkenalkan para kandidat bisa saja gagal. Kalau hal itu sampai terjadi, maka ada kemungkinan pemilih rasional akan golput sebab mereka tidak mendapat cukup informasi untuk menilai calon yang akan dipilih. Pun sebaliknya, bagi pemilih irasional, mereka akan memilih tanpa mengenal sang calon dengan baik. Pemilih tipe ini sangat rentan dengan politik uang.