Hal ini berlaku juga dengan bahasa umpatan, makian, atau ekspresi marah terhadap orang atau sesuatu, tentu setiap daerah memiliki bentuk kata dan ragam bahasa tersendiri. Ragam bahasa tersebut sering disebut umpatan, makian, pisuhan, dan lainnya.
Contoh yang sedikit familiar adalah kata 'asu, asem, celeng, cukimai, dancuk, jancuk, bangsat, bajingan' dll. Umpatan dapat berupa kata, frasa, dan kalimat. Umpatan ini muncul beragam sesuai kondisi sosial, kultur, dan kearifan budaya di daerah masing-masing.
Harus kita sadari bahwa kosakata umpatan tidak sekadar bermakna jorok, kotor, dan saru, tetapi mengandung makna lain dalam komunikasi antarpribadi di daerah tertentu. Memang, secara umum, umpatan diucapkan untuk memarahi, merendahkan, mencela, mengekspresikan emosi, mengutuk, dan sebagainya.
Akan tetapi dalam situasi tertentu, umpatan tersebut bisa bermakna positif karena melahirkan sapaan, keakraban, persahabatan, dan kerinduan. Contohnya di daerah saya di NTT, kata umpatan dalam dialek Kupang : 'we,,anjing e,,/ cukimai e,, Lu datang kapan?'.
Kalimat tadi digunakan sebagai sapaan antarpribadi antara seorang yang baru saja bertemu sahabat/saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Makna kalimat tadi kemudian menjadi sesuatu yang positif.
Atau contoh lain, misalnya penggunaan kata 'Bajingan', bagi kami di NTT, kata 'bajingan' sebenarnya menggambarkan bahwa seorang/sesuatu itu sungguh luar biasa, sungguh hebat dan/atau sangat bagus/keren.
Kalimat semisal: 'Lu bajingan e'Â (artinya, kamu hebat), menjadi sapaan positif yang sudah biasa dalam keseharian hidup kami di NTT, sedangkan di Jawa, kata 'bajingan' tentu bermakna sebagai makian yang cukup kasar dan merendahkan seseorang.
Contoh sederhana tadi mau menunjukkan bahwa pengungkapan umpatan selalu disesuaikan dengan kondisi tertentu. Dalam Psikolinguistik, variasi bahasa umpatan salah satunya disesuaikan dengan tempat dan situasi tertentu.
Pemakaian umpatan 'bajingan, anjing, cukimai'Â dll, dalam konteks ini jelas tidak dipakai dalam kondisi formal, tetapi muncul di tempat dan situasi tertentu ketika warga NTT misalnya sedang marah dengan seseorang atau dalam kondisi tertentu, seperti sedang kaget ketika bertemu teman lama, atau ketika mengakui bahwa sesuatu atau seseorang itu hebat dan bagus.
Dari sini, kita sudah bisa mendapat poin utamanya yakni bahwa pengucapan kata 'anjay' yang dipersoalkan Komnas PA menurut saya tidak tepat. Sebab selama ini kata tersebut tidak dipakai untuk menghina atau merendahkan martabat orang (lawan bicara).
Justru yang terjadi selama ini kata 'anjay' dijadikan sebagai ekspresi positif. Banyak kalangan milenial yang sama sekali tidak merasa terzolimi, atau tidak merasa tersakiti/terendahkan oleh adanya kata 'anjay' yang ditujukkan padanya.