Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Oko'mama: Sarana Dialog Paling Efektif

21 Agustus 2020   12:45 Diperbarui: 21 Agustus 2020   12:53 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Refleksi atas Masalah di Pubabu-Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, NTT

Setelah Kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 2020, banyak peristiwa yang kemudian menjadi catatan penting untuk kita semua refleksikan bersama, terkhusus di daerah saya, Provinsi NTT. 

Salah satu momen yang cukup membanggakan hampir semua masyarakat NTT pada umumnya, dan masyarakat TTS pada khususnya adalah saat di mana Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat dari daerah Nunkolo Kabupaten TTS pada Upacara Peringatan HUT RI ke 75 yang lalu. 

Kebahagiaan dan kebanggaan masyarakat terpancar lewat postingan di media sosial masing-masing orang. Kita bisa lihat sendiri, banyak sekali warganet yang mengungkapkan rasa senang dan bangganya lewat beragam status dan foto-foto unik dan khas. Semua itu, adalah ungkapan dan respon spontan yang paling nyata dari masayarakat terhadap apa yang terjadi.

Terlepas dari rasa bangga dan bahagianya masyarakat atas pakaian adat yang dikenakan oleh Presiden Jokowi, ternyata tidak sedikit juga masyarakat NTT yang memberi argumen berlawanan sembari mengkritisi fenomena yang terjadi setelahnya. 

Bahkan ada yang mengatakan bahwa makna dibalik pakaian adat yang dikenakan Presiden, sebenarnya adalah 'gambaran semu' akan realita kehidupan masyarakat TTS pada khususnya. 

Hal ini terjadi lantaran persis sehari setelah upacara peringatan HUT RI, tepatnya pada Selasa, 18 Agustus 2020, di mana Presiden mengenakan pakaian adat dari salah satu daerah di Kabupaten TTS, ternyata di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, Provinsi NTT, terkhusus di daerah Pubabu-Besipae, masyarakat setempat 'digusur' atau 'diusir paksa' oleh Pemerintah Provinsi NTT dari tanah mereka sendiri, tempat mereka tinggal dan hidup di atasnya. 

Persoalan ini sudah cukup lama menjadi polemik antara Pemprov dan warga setempat. Namun sampai saat ini masih belum ada titik temu yang jelas untuk penyelesaiaan persoalan tersebut. 

Banyak warga Pubabu-Besipae menolak tanah mereka 'diambil' oleh Pemprov. Sedangkan Pemprov sendiri mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah aset milik Pemprov yang nantinya akan dikembangkan dan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat (Kompas.com 21/8/2020). Tarik-ulur persoalan kepemilikan tanah ini kemudian melahirkan banyak opini dan argumentasi dari segenap elemen masyarakat.

Menilik realita yang semakin 'memanas' dan munculnya banyak argumen serta kritik yang menurut saya sedikit 'melebar' dari persoalan utama, maka ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, terkait persoalan Pubabu-Besipae dari sudut pandang budaya/tradisi masyarakat TTS pada umumnya.

Kita tahu bersama bahwa di Pulau Timor, terdapat 3 Suku besar yakni Suku Tetun (daerah Belu-Malaka), Suku Dawan (daerah TTS, TTU, Kupang), dan Suku Helong (daerah Kupang Barat). Salah satu suku yang cukup besar adalah suku Dawan (atoin meto). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun