Pada bulan April 2020 yang lalu, muncul prediksi awal dari Internasional Monetary Fund (IMF) mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia, di mana mereka melihat bahwa ekonomi Indonesia masih akan tumbuh 1,5 persen di masa Pandemi. Akan tetapi, prediksi ini kemudian diralat oleh IMF dan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi RI pada 2020 akan mengalami kontraksi atau tumbuh negatif -0,3 persen dan akan rebound di 2021 menjadi 6,1 persen (Kompas.com, 25/6/2020).
Kalau kita berkaca dari prediksi ekonomi ini, sangat jelas bahwa hal tersebut merupakan peringatan penting bagi Indonesia akan kemungkinan terjadinya resesi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terpuruknya ekonomi Indonesia pada triwulan I dan II tahun 2020 tercermin pada kondisi ekonomi sejumlah provinsi di Indonesia yang tidak stabil. Adanya bahaya menuju jurang resesi, haruslah menjadi suatu pembelajaran urgen bagi kita agar bisa berusaha semaksimal mungkin mengatasinya.
Beranjak dari kondisi ini, lantas apa yang harus kita lakukan? Kita semua tahu bahwa adanya pandemi Covid-19 menyebabkan 'kekacauan' besar dalam setiap sendi kehidupan, salah satunya adalah kehidupan ekonomi. Pandemi ini secara langsung telah mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia, termasuk ekonomi rumah tangga setiap kita.
Bersyukur bagi mereka yang masih bisa bekerja di perusahaan atau di tempat kerja lain, tetapi sangat menderita bagi para pekerja yang sudah tidak bisa lagi mendapat penghasilan karena 'dirumahkan'. Bahkan para pekerja buruh harian, pasti merasakan hal yang paling sulit dalam menjalani masa 'krisis' akibat wabah ini.
Bercermin dari fakta yang ada, maka salah satu solusi yang harus dilakukan adalah bijak dan pandai dalam mengelola keuangan. Manajemen keuangan adalah syarat mutlak bagi kita saat ini agar kita tidak mengalami defisit keuangan dalam hidup harian.
Dalam rangka mencapai kesejahteraan keuangan, seseorang perlu memiliki pengetahuan, sikap, dan implementasi keuangan pribadi yang sehat. Sejauh mana pengetahuan, sikap dan implementasi seseorang dalam mengelola keuangan, dikenal dengan istilah literasi finansial atau literasi keuangan (financial literacy). Mungkin bagi para pakar ekonomi, istilah ini sudah lazim. Tapi bagi kami masyarakat biasa, istilah literasi keuangan masih sedikit asing. Dalam arti yang paling sederhana, literasi keuangan (financial literacy) merupakan kesadaran dan pengetahuan seseorang tentang produk keuangan, lembaga keuangan, dan konsep mengenai keterampilan dalam mengelola keuangan.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan definisi mengenai literasi keuangan sebagai suatu rangkaian proses atau aktivitas dari seseorang untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), keyakinan (confidence), dan keterampilan (skill) sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan lebih baik. Dengan definisi ini diharapkan konsumen produk dan jasa keuangan maupun masyarakat luas, tidak hanya mengetahui dan memahami lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, melainkan juga dapat mengubah atau memperbaiki perilaku dalam pengelolaan keuangan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Atas dasar itulah, maka literasi keuangan merupakan suatu keharusan yang perlu disadari oleh kita semua sehingga pendapatan keuangan kita bisa tertata secara baik. Kalau kita melek pada pengelolaan keuangan, maka kita tidak akan mungkin berkekurangan. Orang yang mempunyai tingkat literasi keuangan rendah akan mudah tertipu dan sulit dalam mengatur pendapatan.
Sebaliknya, orang yang mempunyai tingkat literasi keuangan yang tinggi akan mampu memilih dan memanfaatkan produk dan jasa keuangan yang sesuai kebutuhan, memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan keuangan dengan lebih baik, terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan yang tidak jelas, dan mendapat pemahaman mengenai manfaat dan risiko produk dan jasa keuangan secara tepat.