"Arunika: Cahaya Cinta"
Di batas malam, saat kelam menggantung rendah Â
Tersebutlah Swastamita, pria yang berdiri di ujung senja Â
Mencari terang di tengah kabut kehidupan, Â
Menanti sesuatu yang tak pernah tiba.
Hidupnya adalah duri tanpa bunga, Â
Langkahnya berat, tertatih oleh luka lama. Â
Hingga suatu fajar, Arunika datang, Â
Seperti sinar pertama di ufuk pagi.
Cahayanya lembut, bukan membakar, Â
Melainkan menghangatkan jiwa yang membeku. Â
Dalam tatapannya, Swastamita melihat dunia baru, Â
Dunia yang ia pikir tak pernah ada untuknya.
Arunika tak berkata banyak, Â
Namun setiap gerak dan senyumnya, Â
Adalah janji keabadian yang ia tak tahu ia rindukan, Â
Cinta yang tulus, tanpa syarat, tanpa beban.
Dia adalah matahari bagi malam Swastamita, Â
Menerangi jalan yang tak lagi suram. Â
Dengan Arunika, luka-luka lama mulai sembuh, Â
Kekosongan pun terisi oleh kebahagiaan murni.
Kini, setiap pagi, Swastamita menyambut fajar, Â
Bukan dengan kekecewaan, Â
Tapi dengan harapan dan senyuman, Â
Sebab Arunika, sang cahaya cinta, Â
Telah menjadi miliknya untuk selamanya.
"Swastamita: Jiwa yang Bergetar"
Di ujung senja, Swastamita termenung, Â
Meresapi jingga yang membias di cakrawala, Â
Ketenangan yang tak pernah benar-benar ada, Â
Sebab jiwanya bergetar, tak pernah hening. Â