"Sudah cukup!" Teriak Mira, mencoba memisahkan mereka dengan memegang lengan Bima yang kini basah oleh keringat. "Bima, kamu bisa menyakiti dia! Jangan lakukan ini!" Namun, Bima tetap tidak bisa menahan amarahnya. Dia merasa seluruh kesialan dalam hidupnya berasal dari Arka, dan hari itu, ledakan kemarahan yang sudah lama tertahan akhirnya tidak bisa lagi dikontrol.
Akhirnya, setelah beberapa pukulan lagi, Bima berhenti. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar karena kemarahan yang meluap-luap. Arka, yang kini terbaring di lantai dengan beberapa luka di wajahnya, masih tetap tertawa, meskipun dengan suara yang lebih pelan. "Kamu pikir aku bakal berubah? Kamu pikir aku bakal minta maaf?" ejek Arka, sambil menyeka darah di sudut bibirnya. "Kalian semua bodoh kalau berpikir begitu."
Bima mundur beberapa langkah, matanya berkilat penuh kebencian. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tanpa menatap Mira, dia mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar rumah dengan langkah berat. Mira hanya bisa melihatnya pergi, tak mampu mengatakan apa-apa. Perasaan bersalah dan putus asa membebani hatinya.
Malam itu, suasana rumah begitu sunyi, seperti ada jarak yang begitu lebar di antara semua anggota keluarga. Rana, yang selama ini menjadi saksi bisu dari semua kekacauan, tersembunyi di balik pintu kamarnya, menangis tanpa suara. Dia terlalu takut untuk terlibat, terlalu kecil untuk mengerti mengapa keluarganya hancur seperti. Dalam pikirannya yang polos, dia hanya bisa bertanya-tanya mengapa kakaknya, Arka, begitu berbeda dari yang lain.
Setelah peristiwa tersebut, Bima mulai menjauh dari keluarga. Dia pulang lebih larut setiap harinya, dan kadang-kadang tidak pulang sama sekali. Mira tahu bahwa anak sulungnya mencoba melarikan diri dari tekanan yang ditimbulkan oleh Arka, tetapi dia merasa tidak berdaya untuk menghentikan hal itu. Sementara itu, Arka semakin menjadi-jadi. Dia seperti menikmati setiap kekacauan yang dibuatnya, seolah-olah dia merasa berkuasa dengan membuat orang lain menderita.
Di sekolah, tingkah laku Arka juga semakin parah. Beban yang di pikul sebagai ibu tunggal semakin berat, dan dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari pertolongan. Dia sudah berkali-kali mencoba berbicara baik-baik dengan Arka, tetapi anak itu tampaknya tidak peduli dengan apa pun yang dia katakan.
Setiap hari, Mira merasa hidupnya semakin hancur. Beban yang dia pikul sebagai ibu tunggal semakin berat, dan dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari pertolongan. Dia sudah berkali-kali mencoba berbicara baik-baik dengan Arka, tetapi anak itu tampaknya tidak peduli dengan apa pun yang dia katakan.
Kesialan yang ditimbulkan Arka tidak hanya berdampak pada keluarga, tetap juga lingkungan sekitarnya. Setiap kali ada peristiwa buruk yang terjadi di sekitar kampung, orang-orang selalu menyalahkan Arka. "Anak itu memang pembawa sial," bisik-bisik mereka. Bahkan beberapa tetangga mulai menghindari keluarga Mira, seolah takut tertular nasib buruk yang dibawa oleh Arka.
Mira tidak pernah berhenti berdoa agar anaknya berubah, agar keluarganya bisa kembali hidup dengan damai. Namun, semakin lama dia semakin merasa bahwa harapannya hanyalah sebuah ilusi. Arka terus membawa kesialan, dan tidak ada tanda-tanda bahwa semua ini akan berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H