Kata-kata yang Menyakiti
Seiring berjalannya waktu, sikap Arka semakin tak terkendali. Tak hanya di rumah, dia juga mulai menimbulkan masalah di lingkungan sekitar. Setiap kali terjadi sesuatu yang tidak beres, mata orang-orang akan tertuju pada Arka sebagai penyebabnya. Bisik-bisik para tetangga yang penuh ketidakpuasan dan kekhawatiran sering terdengar di tengah-tengah komunitas mereka.Â
"Dasar anak dajal," keluh mereka, meragukan kebenaran bahwa Arka adalah anak biasa.
Di rumah, Mira merasa terjebak dalam lingkaran setan. Setiap hari, tekanan yang dirasakannya semakin berat. Arka tidak hanya membuat kekacauan di dalam rumah, tetapi juga merusak suasana di luar rumah dengan sikapnya yang kasar dan cenderung provokatif. Ucapan-ucapan Arka seakan seperti senjata yang bisa menghancurkan siapa saja yang mendengarnya.Â
"Kamu bodoh, Bu! Kamu gak ngerti apa-apa!" teriak Arka pada ibunya dengan nada penuh kebencian, seolah tidak ada rasa hormat sedikit pun terhadap wanita yang telah melahirkannya dan merawatnya.
Kata-kata Arka bukan hanya sekadar ucapan kasar; mereka seolah mengandung kutukan yang membawa sial bagi siapapun yang terkena dampaknya. Tidak jarang, tetangga-tetangga mulai menghindari Mira dan anak-anaknya karena merasa mereka adalah sumber kesialan. Bahkan, beberapa orang yang pernah bersahabat dengan Mira mulai menjauh, membuatnya semakin merasa terasing dan sendirian dalam perjuangannya menghadapi anaknya yang bermasalah.
Mira, yang sudah berusaha keras untuk menjaga agar rumah tetap harmonis, merasa putus asa. Setiap kali dia berusaha menenangkan Arka, baik dengan kelembutan maupun dengan kemarahan, semua usaha itu tampaknya sia-sia.Â
Arka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau rasa takut. Sebaliknya, dia malah semakin membenci ibunya yang selalu berusaha untuk membimbingnya.
Suatu hari, saat Mira sedang berbelanja di pasar, Arka mengikuti ibunya dengan penuh amarah. Tanpa alasan yang jelas, dia mulai melemparkan barang-barang dari meja pasar, membuat keributan di tengah-tengah kerumunan orang. Penduduk pasar yang menyaksikan kejadian itu mulai mencibir dan berbisik satu sama lain, menyebut Arka dengan sebutan-sebutan yang tidak pantas. Mira, yang sudah sangat lelah, hanya bisa menundukkan kepala, merasa tertekan oleh pandangan sinis dari orang-orang di sekelilingnya.
Kembali ke rumah, Arka melanjutkan ulahnya dengan merusak barang-barang di rumah. Dia sering mengacak-acak ruang tamu, merobek buku-buku yang ada di rak, dan bahkan memecahkan barang-barang berharga yang dimiliki ibunya.Â
Ketika Mira berusaha melarangnya, Arka hanya memandangnya dengan tatapan kosong, seolah tidak memahami mengapa tindakannya bisa menyakiti orang lain. "Kamu gak berhak marah!" teriaknya pada ibunya. "Kamu cuma bisa ngomong doang, tapi gak pernah ngerti apa yang aku rasain!"