Mohon tunggu...
Ferdiansyah Rivai
Ferdiansyah Rivai Mohon Tunggu... Administrasi - Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Elpiji Non Subsidi dan Kesadaran Kelas

21 September 2014   06:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:04 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Walaupun sistem kelas banyak ditentang, namun tidak dapat dipungkiri bahwa di negara ini kita masih hidup dalam sistem kelas yang disadari secara penuh oleh penyelenggara negara itu sendiri. Cara membuktikannya sederhana, coba jawab mengapa di Stasiun Pengisian Bakar Umum (SPBU) Pertamina disediakan dua jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sejenis namun berbeda kualitas -Premium dan Pertamax-? Jelas sekali jawabannya adalah karena di Indonesia ada dua kelas masyarakat pengguna kendaraan bermotor, yaitu kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas. Premium yang kualitasnya lebih rendah, dan harganya juga telah diringakan oleh pemerintah melalui skema subsidi, disediakan bagi kalangan menengah ke bawah. Sedangkan Pertamax yang kualitasnya lebih bagus dan tanpa subsidi, disediakan pemerintah bagi masyarakat kelas menengah ke atas.

Tidak hanya dalam penyediaan BBM, dalam penyediaan Bahan Bakar Gas (BBG) pun Pemerintah juga telah mengaplikasikan kebijakan layanan berdasarkan kelas. Beberapa tahun lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji 3kg bersubsidi, untuk mengurangi anggaran subsidi BBM yang waktu itu membengkak akibat naiknya harga minyak mentah dunia. Dan dengan adanya kebijakan ini, maka jelas produk layanan penyediaan BBG juga terbagi dua, elpiji 3kg subsidi untuk kelas menengah ke bawah, dan elpiji 12kg non-subsidi (yang sebelumnya sudah ada) untuk kelas menengah ke atas.

Lalu apa yang menarik dibincangkan antara keterkaitan subsidi energi ini dengan sistem kelas di dalam masyarakat? Berikut penulis akan menjabarkan beberapa pemikiran, terutama yang terkait dengan persoalan gas elpiji non subsidi.

Salah Satu Cita-Cita Kemerdakaan: Menghapus Sistem Kelas

Sistem kelas bukan baru-baru ini eksis di Indonesia, ia sudah jauh-jauh hari hadir (dari sistem kolonial (penjajahan). Pada masa kolonial, dapat disaksikan dengan jelas bahwa masyarakat kita terbagi setidaknya menjadi 4 kelas: Pihak Penjajah (Penguasa), Priyayi (Bangsawan dan Raja-Raja daerah), Saudagar, dan Rakyat Jelata. Yang membedakan kelas-kelas ini selain jangkauan kekuasannya, juga adalah nominal harta dan perlakuannya di mata hukum. Dan bagi para punggawa pendiri negara Indonesia, salah satu hal yang patut diupayakan melalui kemerdekaan dari penjajah adalah menghapus sistem kelas, yang tertuang dalam sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Walaupun Indonesia sudah merdeka 69 Tahun, sistem kelas masyarakat masih terus eksis sampai sekarang. Akan tetapi, sudut pandang yang digunakan oleh Penjajah dan Pemerintah hari ini tentu sangat berbeda -setidaknya dalam tataran ideal seperti apa yang tertuang di konstitusi-. Bagi penjajah, sistem kelas harus terus dipelihara untuk melanggengkan kekuasaannya. Sedangkan bagi pemerintah hari ini, salah satu hal krusial yang harus terus diupayakan adalah tentang bagaimana menghapus sistem kelas, dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam mewujudkan cita-cita ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah membuat skema subsidi, yaitu bantuan keuangan yang diberikan kepada rakyat atau badan usaha. Dengan adanya subsidi, diharapkan rakyat yang hidupnya sulit dapat sedikit terbantu.

Membangun Kesadaran Kelas Melalui Pemakain Elpiji Non Subsidi

Dari uraian singkat di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa subsidi hadir sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan. Dan sudah sewajarnya kelas menengah ke atas yang relatif lebih terdidik dan mapan secara ekonomi, ikut membantu mewujudkan hal ini.  Caranya sederhana saja, yakni sadar akan keterkaitan antara cita-cita kemerdekaan -berupa upaya penghapusan kelas- dan attitude­ dalam mengkonsumsi sebuah produk. Terkait dengan gas elpiji bersubsidi, maka cara yang bisa dilakukan kelas menengah atas adalah dengan sadar membeli/mengkonsumsi gas elpiji non subsidi 12 kg (bukan 3 kg).

Dengan tidak membeli gas 3Kg, berarti kelas menengah ke atas tidak mengambil hak kelas menengah ke bawah yang sedang berusaha untuk menjadi setara, dan ini juga berarti telah turut membantu mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Lagipula, kelas menengah atas juga tidak akan mengeluarkan biaya yang sangat fantastis ketika membeli elpiji non subsidi. Saya akan coba jelaskan. Pertama, mari terlebih dahulu kita definisikan kelas menengah ke atas sebagai orang-orang yang berpenghasilan sesuai dengan pendapatan per kapita terbaru Indonesia, yakni USD 3600/Tahun atau sekitar Rp.3.500.000/ bulan. Sementara itu, dari hasil Kompasiana Nangkring Bareng Pertamina didapatkan info bahwa rata-rata biaya per-bulan untuk konsumsi gas elpiji 12 Kg adalah sebesar Rp.90.000-Rp.100.000. Dari sini dapat dilihat bahwa kelas menengah atas yang paling standar, hanya perlu mengeluarkan 0,02 persen dari pendapatannya per bulan untuk biaya konsumsi elpiji gas non subsidi.

Dengan begini, apakah begitu sulit untuk menjadi pribadi yang “sadar kelas” dan turut memperjuangkan cita-cita luhur kemerdekaan? Saya rasa tidak. Dan bagi anda yang merasa kelas menengah ke atas, negeri ini benar-benar sedang membutuhkan kesadaran kelas anda, sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun