Mohon tunggu...
Ferdiansyah Rivai
Ferdiansyah Rivai Mohon Tunggu... Administrasi - Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Marshanda dan Konsep Kegilaan Michel Foucault

28 April 2020   18:47 Diperbarui: 28 April 2020   18:47 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya kurang tahu pasti apakah generasi yang lahir setelah tahun 2000 mengenal siapa Marshanda. Tapi bagi generasi saya, Marshanda adalah sosok yang punya tempat tersendiri di kenangan masa kecil. Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, ia adalah idola anak-anak dan ibu rumah tangga se-Indonesia. Sinetronnya yang berjudul "Bidadari" adalah salah satu tayangan yang paling ditunggu-tunggu tiap minggu malam.

Dalam sebuah unggahan di feed instagramnya awal bulan ini, Marshanda mendeklariskan diri sebagai "I Am The Trend". Secara verbal ia menggugat masyarakat Indonesia yang di tahun 2009 sempat mengejek habis-habisan sebuah postingannya di kanal youtube yang berisi adegannya nyanyi-nyanyi sambil berjoget. Sementara hari ini, apa yang dilakukan oleh Marshanda tersebut adalah hal yang sangat lumrah, bahkan bisa dikatakan sebagai "Tren". Bedanya, masyarakat umum hari ini berdendang-dendang ria sambil berjoget di dalam sebuah aplikasi yang bernama "Tik Tok". Apakah perbedaan aplikasi lalu membuat perbedaan persepsi?

Ternyata tidak juga, sekitar dua tahun sebelumnya, publik Indonesia heboh dengan kehadiran sosok anak kecil bernama Bowo Alpenliebe. Bowo tenar akibat konten-konten jogetnya yang ada di Tik Tok. Fansnya menjamur di seantero Indonesia. Acara temu fansnya yang berbayar dihadiri banyak anak-anak dan remaja tanggung. Tapi, sebagian kaum elit mencemooh kehadiran bowo, mulai dari selebritis hingga politisi menghakimi aplikasi tik tok sebagai pembawa pengaruh buruk pada anak-anak. Banyak orang tua pun merasa resah. Akhirnya, tak tangung-tanggung, Menkominfo memblokir aplikasi Tik Tok waktu itu.

Herannya, Tik Tok tiba-tiba kembali booming tahun lalu. Penggunanya pun tidak sembarangan, dari selebritis Level A hingga politisi elit sekelas kepala daerah dan menteri muncul di aplikasi ini, atau minimal menduplikasi goyang-goyangan yang tren di aplikasi tersebut. Saya tentu kaget. Lho ada apa ini? Tapi untung saja saya segera punya argumen untuk menenangkan diri.

Adalah konsep kegilaan Michel Foucault yang cukup menenangkan saya. Di dalam kitabnya yang masyhur berjudul Madness and Civilization, Foucault menjelaskan bahwa kegilaan tidak memiliki definisi yang mutlak dan merupakan produk kekuasaan.

Foucault mendasari argumen ini berdasarkan penelusuran sejarah asal-usul kegilaan. Dia mengatakan, di permulaan abad pencerahan/reinnassance/sekitar abad 15, gila hanyalah sebuah konsep yang dilekatkan pada mereka yang dianggap terlampau imajinatif. Mereka ini hanya mendapat hukuman moral, tapi tetap bisa membaur di masyarakat. Dua abad kemudian, kegilaan mulai dikaitkan dengan akal. Bahwa yang waras adalah yang rasional, sementara yang gila adalah yang irasional. Terus beranjak, kegilaan mulai berbenturan dengan kekuasaan (sesuai definisi Foucault: kekuasaan bukan hanya berbentuk institusi, tapi juga melekat pada mereka (elit-elit) yang mendominasi pengetahuan, ekonomi, dan politik).

Kekuasaan akhirnya menyingkirkan mereka yang dianggap gila ke dalam rumah sakit, mereka harus didisiplinkan agar sesuai dengan standar kewarasan para elit. Rumah sakit menjadi tempat pengadilan gila atau waras yang tegak di atas definisi yang diciptakan oleh kekuasaan. Sederhanya: yang gila adalah mereka yang tidak sesuai dengan konsep waras yang diciptakan kekuasaan, bukan mutlak !

Maka, ketika di tahun 2009 Marshanda dikatakan gila oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena joget-joget dan nyanyi-nyanyi sendiri di depan kamera, itu lebih karena ia sudah terlempar dari kalangan elit selebritas. Beberapa tahun sebelum itu, karir Marshanda redup dan hilang dari layar-layar kaca masyarakat Indonesia.

Bowo pun kurang lebih begitu. Ia bukan anak golongan elit, para fansnya pun juga umumnya masyarakat biasa. Dominasi joget-jogetan mereka di dunia maya membuat golongan elit gerah, dan akhirnya menyingkirkan mereka secara sosial dengan memblokir aplikasi sumber kebahagiaan mereka, yang dianggap terlampau imajinatif sehingga melanggar standar-standar kesusilaan para elit. Mereka harus didisiplinkan !!!

Konsep Kegilaan Foucault akhirnya membantu saya memahami mengapa aplikasi Tik Tok booming lagi di tahun lalu hingga hari ini. Jawabannya adalah karena Kekuasaan sudah memberikan legitimasi atas itu. Berjoget di tik tok sudah masuk ke dalam standar  kesusilaan para elit. Melalui apa? Ya melalui hadirnya para selebritas hingga elit politik ke dalam aplikasi itu. Sepertinya Tik Tok menyadari, bahwa ia harus melakukan persuasi ke dalam golongan elit agar bisa berbisnis dengan tenang di negara ini. Itulah kenapa banyak kelompok elit selebritas yang akhirnya diajak bekerja sama. Dengan imbalan rupiah pasti.

Dan anda kini pasti juga paham, kenapa pakar bahasa Ivan Lanin marah besar ketika kekuasaan dengan seenaknya mengubah makna mudik dan pulang kampung. Kamus sudah mati ! Katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun