Mohon tunggu...
Ferdiansyah Rivai
Ferdiansyah Rivai Mohon Tunggu... Administrasi - Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat Teori Konspirasi Deddy, Young Lex, dan JRX

27 April 2020   16:42 Diperbarui: 27 April 2020   22:33 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kompas.com

Akhirnya saya sampai juga pada titik "eneg" mendengar teori-teori konspirasi yang berseliweran terkait wabah covid-19. Teori-teori ini datang dari (setidaknya) tiga orang "berpengaruh"/influencer di Indonesia: yaitu Deddy Corbuzier, Young Lex dan Jerinx SID. Kurang lebih mereka mengatakan bahwa Covid-19 adalah konspirasi elit global. 

Mereka menyatakan bahwa di balik ini ada sebuah grand design yang dibuat oleh perusahaan-perusuhaan farmasi dan  perusahaan-perusahaan digital raksasa. Mereka juga mengatakan bahwa nanti akan muncul vaksin yang datangnya dari Bill Gates/Pengusaha Digital Raksasa, yang kemudian di dalamnya terdapat micro/nanochip yang disuntikkan ke tubuh kita.

Jujur, sewaktu remaja saya juga seorang pembaca tulisan-tulisan teori konspirasi, mulai dari agenda-agenda sekte pemuja setan hingga agenda gerakan freemason/zionis. Teori-teori konspirasi seperti ini emang sangat seru, bahkan bisa mengguncang iman dan menggugah nalar. Tapi semuanya selalu akan berakhir hanya sekedar omongan, atau ya seperti yang dilakukan Jerinx: kembali pada wacana umum: sama-sama ikut mendukung PSBB dan bagi-bagi hand sanitizer.

Sementara, mereka yang mendengar konspirasi-konspirasi ini banyak yang terprovokasi. Saya serius, tidak sedikit yang kemudian sudah mulai bicara-bicara tentang kerusuhan. Karena teori ini, hidup mereka yang sebelumnya sudah sulit serasa semakin dipermainkan, dan mereka tentu akan bereaksi. Ya walaupun ini baru sekedar cuap-cuap, tetap saja berbahaya. Kita tentu lebih butuh narasi-narasi saintifik dan gerak-gerak solidaritas, ketimbang teori konspirasi ini. Dan untuk menggugat para pecinta teori konspirasi ini, saya akan mengajukan tiga argumen.

Pertama, semua narasi yang mereka katakan sangat ahistoris. Absennya fakta-fakta sejarah yang mengatakan bahwa sepanjang usia bumi ini sudah banyak sekali wabah-wabah mematikan serupa, seperti black plague di abad 14 hingga flu spanyol di awal abad 20. Fakta ini jelas membuktikan bahwa bumi memang memiliki periode-periode pandemi tersendiri secara reguler. Ia hari ini sebenarnya hanya memainkan siklus umum yang (barangkali) sudah terjadi sejak jutaan tahun lalu. Sekarang tinggal bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan hal tersebut.

Kedua, terkait konspirasi elit-elit global/perusahaan farmasi raksasa. Menurut hemat saya, yang terjadi pada teman-teman pecinta konspirasi ini adalah sikap "ketidakberdayaan/frustasi" mereka menghadapi relasi kuasa yang timpang, terutama jika dihubungkan dengan borjuasi-borjuasi global. Mereka lebih terlihat seperti (maaf) "iri mendadak" karena mereka tidak punya privilege seperti para borjuasi itu.

Industri kesehatan sudah pasti akan jadi penikmat untung terbesar selama dan pasca pandemi ini. Tapi itu lebih karena mereka lah yang infrastrukturnya paling siap dalam menyambut "peluang bisnis" ini. Jahat? Memang iya. Tapi bukan lantas kita malah menciptakan cerita-cerita konspiratif tentang itu. 

Seharusnya kita semakin insyaf, bahwa dulu ketika ruang demokrasi masih terbuka luas, harusnya kita mengintervensi ruang publik dengan menciptakan gerakan-gerakan solidaritas progresif yang mampu menghapus ketimpangan relasi kuasa dan perbedaan kelas. Bukannya membuat konten-konten mubazir yang (selain) cuma menguntungkan diri pribadi juga cuma menjadi sampah audio visual.

Sebelum ini Bli Jerinx sebenarnya sudah sangat baik dengan terlibat dalam aksi Bali Tolak Reklamasi dan lain sebagainya. Saya jadi heran, kenapa ia masih tertarik membicarakan teori konspirasi di ruang publik. Padahal akan lebih baik jika ia terus lipatgandakan gerakan-gerakan progresif yang saat ini telah dan sedang ia lakukan.

Ketiga, terkait dengan ketakutan pada sisipan micro/nanochip pada vaksin yang nanti akan beredar. Di sini saya tidak hendak menggugat, tapi lebih ingin mengarahkan percakapan Young Lex dan Deddy ke arah yang lebih tepat guna. Dalam percakapannya, mereka tidak jelas menyatakan apa hal yang ditakuti terkait hal ini. Tapi izinkan saya menerka, mereka barangkali takut chip ini akan jadi pengawas (surveillance) bagi gerak-gerik kita.

Saya hanya mau katakan, tanpa adanya sisipan chip ini, kita sudah mengalami pengawasan 24 jam melalui beragam aplikasi yang terinstal di gadget kita. Silakan baca buku The Age of Surveillance Capitalism karangan Soshana Zuboff untuk memahami detil mengenai hal ini. Tapi sederhananya, algoritma aplikasi-aplikasi (terutama media sosial) yang tertanam di gadget kita dapat membaca kecenderungan minat kita melalui jejak digital (bahkan hingga suara yang beredar di sekitar gadget). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun