Mohon tunggu...
Ferdiansyah Rivai
Ferdiansyah Rivai Mohon Tunggu... Administrasi - Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Garda Terdepan Covid-19 dan Ancaman Kebebasan Sipil

26 April 2020   17:28 Diperbarui: 27 April 2020   23:11 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu, di linimasa twitter dan beberapa media massa terjadi kehebohan terkait munculnya pemberitaan Ravio Patra yang tiba-tiba ditangkap polisi. Saya juga tidak mengenal siapa Ravio sebelumnya. Belakangan saya baru tahu dari berita bahwa dia adalah aktivis, peneliti, yang konon keras mengkritik Jokowi. Jujur saya kaget, karena tidak menyangka di masa pandemi seperti saat ini, masih sempat-sempatnya terjadi tindakan-tidakan seperti ini.

Ada dua hal yang menjadi catatan saya terkait penangkapan. Pertama, Sebelum ditangkap dikatakan aplikasi Whatsapp Ravio diretas, dan kemudian (katanya) digunakan untuk menyebarkan pesan melakukan tindakan rusuh. Sebelumnya dalam waktu yang tidak berjauhan, Polisi menangkap tiga orang yang dianggap melakukan vandalisme sekaligus memprovokasi masyarakat untuk anti kapitalisme. Sebelumnya lagi, viral video seorang maling helm yang mengaku sebagai Ketua Kelompok Anarko Sindikalis Indonesia. Sebelumnya lagi, Polisi mengumumkan sedang mencari kelompok anarko sindikalis yang (katanya) membuat selebaran untuk melakukan penjarahan.

Deretan peristiwa ini tentu saja membawa aktivis-aktivis gerakan sipil pada kenangan buruk di masa Orde Baru. Dimana seringkali aparat atas nama pemberantasan gerakan komunisme,  kemudian memberangus suara suara kritis masyarakat sipil. Pola ini begitu mirip, dan tentu menimbulkan reaksi keras. Muncul asumsi dan dugaan bahwa Ravio ditangkap karena upaya-upaya kritisnya terhadap pemerintah.

Beberapa hari setelah penangkapan, muncul lagi berita berita penangkapan Ravio yang (katanya) ketika sedang hendak masuk ke dalam sebuah mobil diplomat berkebangsaan Belanda. Netizen riuh. Banyak yang menuduh Ravio sudah bersekutu dengan pihak asing (Belanda), dan kini ia adalah agen mereka yang diminta untuk membuat sesuatu yang buruk bagi Indonesia. Duh... Agen?

Penting untuk dikatakan di sini bahwa menjalin hubungan dengan (katakanlah) orang asing, atau warga negara asing, merupakan sebuah hal yang lumrah (dan bahkan sangat dianjurkan) di era globalisasi seperti saat ini. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional misalkan, sedari awal sudah menata diri untuk dapat bergaul dan membangun koneksi dengan banyak diplomat dari luar negeri. Buat apa? 

Macam-macam tujuannya. Mulai dari mencari tempat magang, cari pembicara untuk seminar, hingga sekedar niatan menambah teman untuk berpikir. Ilmuwan Indonesia pun dituntut untuk bergaul dengan komunitas ilmiah global yang berisikan (katakanlah) peneliti-peneliti asing. Staf Khusus Milenial seperti Belva pun menjalin hubungan dengan investor-investor asing besar. Dan bahkan Ruang Guru pun adalah perusahaan asing yang berpusat di Singapura.

Sampai di sini tentu kita paham bahwa berhubungan dengan orang asing itu kebanyakan motifnya bukan untuk menjadi penghancur bangsa. Dan belakangan saya juga tahu bahwa Ravio ternyata adalah alumni Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Ya wajar. Barangkali Ravio dulu pernah magang di Kedutaan Besar Belanda.

Jauh lagi sebelum peristiwa ini,  pemerintah mengumumkan susunan Tim Penanggulangan Covid19 yang didominasi oleh mantan-mantan petinggi militer. Sebuah kekecewaan tentu bagi saya pribadi, dan (saya yakin) juga bagi banyak orang. Karena jelas yang kita butuhkan bukanlah penanganan-penanganan yang bersifat militeristik.

Dalam kajian keamanan, wabah penyakit seperti ini masuk ke dalam kategori ancaman kemanan non tradisional. Sementara peperangan dan isu-isu persenjataan, masuk ke dalam kategori ancaman keamanan tradisional. Maka pilihan untuk meletakkan manusia-manusia cerdas berwawasan militer tentu tidak tepat dan tidak memberikan keyakinan pada masyarakat. Seharusnya yang menjadi garda terdepan adalah ahli tenaga medis, ilmuwan kesehatan, pakar ketahanan pangan, dan ahli sosiologi. Pikiran dan nasehat merekalah yang seharusnya didengarkan dan mendominasi ruang publik kita.

Dalam hemat saya, di masa darurat seperti ini yang paling penting adalah bagaimana caranya pemerintah melawan pandemi ini melalui penanganan medis dan riset kesehatan, memastikan ketahanan pangan, serta melakukan persuasi dan edukasi terhadap masyarakat. Bayangkan jika wabah ini menjangkiti pedesaan tempat lumbung-lumbung pangan? Dapat dipastikan "kiamat" akan terjadi di negara ini.

Lalu bagaimana dengan kritik terhadap pemerintah? Di buku Arief Budiman yang saya ceritakan dua hari yang lalu, Arief bercerita bahwa dulu Pemerintah Jepang pernah membuat sayembara, dimana jika ada sarjana di AS melakukan riset yang mengkritisi pemerintahan Jepang, dia akan DIBAYAR. Ini menandakan bahwa kritik justru baik, apalagi dalam situasi panik seperti ini. Dia bisa dijadikan alat untuk terus mengevaluasi kinerja agar semakin sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun