Mohon tunggu...
Diba Nasution
Diba Nasution Mohon Tunggu... Lainnya - ISTJ

berusaha mengurai isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balai Harta Peninggalan, Dulu dan Kini

13 Februari 2018   15:29 Diperbarui: 14 Februari 2018   09:59 3866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah Balai Harta Peninggalan (BHP) di Indonesia tentu sudah sangat panjang dan mungkin termasuk Kantor tertua yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda yaitu pada tanggal 1 Oktober 1624 berkedudukan di Jakarta. Sedangkan pendirian Balai Harta Peninggalan didaerah lain sejalan pula dengan kemajuan teritorial yang dikuasai VOC, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang VOC.

Awal mula masuknya Belanda ke Indonesia tahun 1596 adalah sebagai pedagang dan pencari rempah-rempah. Pada masa itu perdagangan mereka bersaing dengan pedagang-pedagang asing lainnya, Cina, Inggris, dan Portugis, yang memiliki armada-armada besar. Persaingan tersebut membuat orang-orang Belanda kemudian pada tahun 1602 mendirikan suatu perkumpulan dagang yang diberi nama ''Vereenigde Oost Indische Companie'' disingkat VOC, yang oleh bangsa kita disebut ''Kompeni''.

Seiring berjalan waktu kekuasaan VOC di Indonesia semakin meluas, maka akhirnya timbullah kebutuhan bagi para anggotanya khusus dalam mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan oleh mereka bagi kepentingan para ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak yatim piatu dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan itulah oleh Pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang diberi nama ''Wees-en Boedelkamer'' atau ''Weskamer'' (Balai Harta Peninggalan).

Dalam melaksanakan tugasnya Pemerintah Belanda saat itu mengeluarkan beberapa instruksi sebagai dasar hukum Balai Harta Peninggalan. Selama perjalanannya Balai Harta Peninggalan mengenal empat macam instruksi yaitu ;

  • Tanggal 16 Juli 1625 terdiri dari 49 pasal yang mengatur organisasi dan tugas-tugas Weeskamer (Balai Harta Peninggalan).
  • Tahun 1642, pada perlakuan kodifikasi pertama hukum Indonesia, yang isinya kira-kira sama dengan yang pertama.
  • Stbl. 1818 No.72, yang dibuat setelah pemulihan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia sesudah Pemerintahan tentara Inggris, juga dalam hal ini tidak banyak perbedaan dengan yang terdahulu.
  • Stbl. 1872 No.166 yang didasarkan pada berlakunya perundang-undangan baru di Indonesia pada tahun 1848 dan masih berlaku sampai sekarang.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, sebagian besar peraturan pada zaman Belanda masih digunakan sampai sekarang, sesuai pasal II aturan peralihan undang-undang dasar 1945 disebutkan "segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini". Dengan demikian ketentuan pasal II aturan peralihan undang-undang dasar 1945 dikeluarkan agar tidak terjadi kekosongan hukum di Indonesia.

Begitu juga dengan hukum perdata di Indonesia yang diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Burgerlijk Wetboek (BW). Namum beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang perkawinan, tanah, hak tanggungan dan fidusia.

Sedangkan pengaturan mengenai tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan sebagian besar masih terdapat di dalam Buku I BW, dimana dalam KUHPerdata tersebut terdapat adanya penggolongan penduduk. Untuk itu beberapa tugas dan fungsi BHP masih dibatasi dengan penggolongan penduduk. Adapun tugas dan fungsi BHP yaitu :

  • Pengampu atas anak yang masih dalam kandungan (Pasal 348 KUH Perdata);
  • Pengurus atas diri pribadi dan harta kekayaan anak-anak yang masih belum dewasa, selama bagi mereka belum diangkat seorang wali (Pasal 359 ayat terakhir KUH Perdata);
  • Sebagai wali pengawas (Pasal 366 KUH Perdata) ;
  • Mewakili kepentingan anak-anak belum dewasa dalam hal adanya pertentangan dengan kepentingan wali (Pasal 370 KUH Perdata) ;
  • Mengurus harta kekayaan anak-anak belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (Pasal 338 KUH Perdata) ;
  • Pengurusan harta peninggalan yang tak ada kuasanya / onbeheerde nalatenschappen (pasal 1126, 1127 dan 1128 KUH Perdata) ;
  • Pengurusan budel-budel dari orang-orang yang tidak hadir / boedels van afwezigen (Pasal 463 BW) ;
  • Pengurusan budel-budel dari orang-yang berada di bawah pengampuan karena sakit jiwa atau pemboros. Dalam hal ini B.H.P. bertugas selaku pengampu pengawas (pasal 449 KUH Perdata), akan tetapi bila pengurusan dicabut dari pengampunya, langsung menjadi pengurus harta kekayaan orang yang berada di bawah pengampuan (pasal 452 jo. pasal 338 KUH Perdata) ;
  • Menyelesaikan boedel kepailitan (Pasal 70 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004) ;
  • Mendaftar dan membuka surat-surat wasiat (Pasal 41, 42 OV dan Pasal 937, 942 KUH Perdata) ;
  • Membuat surat keterangan waris bagi golongan Timur Asing selain Cina (Pasal 14 ayat 1 Instructie voor de Gouvernements Landmeters Stbl. 1916 No. 517);
  • Melakukan pemecahan dan pembagian waris (Pasal 1071 KUH Perdata) ;
  • Melakukan pengelolaan dan pengembangan Uang Pihak Ketiga berdasarkan Keputusan Menteri Hukum & HAM ;
  • Melakukan penerimaan dan pengelolaan hasil Transfer Dana dari Bank (Pasal 37 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2011 jo. Pasal 17 ayat (4) dan (5), Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No. 14/23/PBI/2012) ;
  • Melakukan penerimaan dan pengelolaan dana Program Janiman Sosial Tenaga Kerja (Pasal 22 ayat (3a) dan Pasal 26 ayat (5) PP No. 53 Tahun 2012 jo. Peraturan Menkumham No. 13 Tahun 2013).

Keberadaan BHP dalam sistem dan tata hukum Indonesia yaitu sebagai bentuk hadirnya kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. BHP merupakan instansi pemerintah yang hadir untuk mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang (badan hukum) yang karena hukum atau putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya (secara perdata) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya penggolongan penduduk dalam KUHPerdata tentu tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini dan menjadi salah satu penghambat eksistensi BHP ditengah masyarakat. Untuk itu dirasa perlu adanya suatu Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai tugas dan fungsi BHP agar lebih dapat dikenal masyarakat dan tidak ada penggolongan penduduk dalam pelaksanaan tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun