Mohon tunggu...
Diba Dorothea
Diba Dorothea Mohon Tunggu... -

Masih berstatuskan mahasiswi untuk konsentrasi studi Komunikasi Pemasaran dan Periklanan di salah satu universitas swasta, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk 'bercengkerama' dengan hal-hal yang saya cintai; warna, kata dan anak. Satu hal yang saya catat betul dalam benak saya: pengetahuan yang murni - tak terusik kepentingan apapun - juga yang jujur, didapat dari kehidupan dan alam semesta. Bukan dari sekolah. :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seri Puisi: "Hasian"

22 Juli 2010   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hasian[1] No.1

Malam kelabu menggantung mengharu

Isak tangismu menusuk sukmaku

Memanggil Ibu yang lama berlalu

"Hasian, Hasian," kau dengar suara bertalu

Sejenak mata menatap beradu

Langkah tegap dan pasti berhenti di situ

"Hasian, Hasian, yang menangisnya kau?"

Jantungmu memacu, hanya sanggup mengangguk

Masih kau rekam saat itu

Lima tahun silam tak pernah laju

"Hasian, Hasian," Ibumu mengadu

"Terantuk kepalaku," dusta Ibumu

"Inang[2], Inang, kenapa bajumu?"

"Hasian, Hasian, tersangkut paku."

"Inang, Inang, berdarah karena paku?"

"Hasian, Hasian, yang luka hatiku..."

"Inang, Inang, menangis selalu..."

"Tenang, Hasian, tangisku untuk hidupku."

"Inang, Inang, pedih rupamu..."

"Lihat, Hasian, Amang[3]mu terlalu..."

Amangmu terlalu..

Amangmu terlalu..

"Hasian, Hasian," kau dengar suara bertalu

Jantungmu memacu, hanya sanggup tersedu

Hasian No.2

"Hasian, Hasian, kau dengar suaraku?

Hasian, Hasian, disini aku selalu

Jiwaku terpaku

Lukaku membeku

Amangmu terlalu

Amangmu terlalu..."

"Hasian, Hasian, habis nyaliku

Bergetar hatiku, tersirap darahku

Berlutut aku, Hasian, bertelut diriku

Tak mampu rasanya, Hasian,

Amangmu terlalu..."

"Hasian, Hasian, membiru warnaku

Memucat jiwaku

Mengeluh ragaku

Apa salahku, Hasian,

Apa salahku..."

"Hasian, Hasian, bawa lidahku

Sampaikan di ujung jalan itu

Siapa tau mereka sama denganku

Bawa lidahku

Sebar rasaku

Lawan lemahku"

"Oo... Hasian, Borukki, Haholonganhi...

Sai burju do Au, burju do Au...

Boasa songon i, ingkon marilu-ilu do Au?

Oo... Hasian, Borukki, Haholonganhi...

Na sala do pambaenanhu tu Amangmu?

Boasa songon i, ai ingkon marsingkor do Au?[4]"

"Hasian, Hasian...

Bawa lidahku

Sebar rasaku

Lawan lemahku"

Hasian No.3

Sejenak mata menatap beradu

Langkah tegap dan pasti berhenti di situ

"Hasian, Hasian, yang menangisnya kau?"

Jantungmu memacu, hanya sanggup mengangguk

Dendammu membakar pilu

Itu dia yang membawa Ibumu

"Kau lihat itu, Hasian? Sengaja kupukul dia.

Tak beres kerjanya di rumah, sengaja kupukul dia."

Memudar hidupmu

Mengkelam warnamu

Kau diam mematung, Hasian

Beratus kenangan menyiksamu

"Ke sini kau Hasian! Kau lihat itu!

Sok menangis dia, ada saja salahnya.

Kenapa kau menangis, Hasian, hentikan itu!

Mamakmu itu yang salah, aku cuma mengajarinya."

Mengajar dengan menghajarkah?

Adakah kasihmu padanya?

Mengapa kau begitu, Bapa?

Orang baiknya Mamak...

"Hasian, Hasian, yang menangisnya kau?"

Benci rasa hatimu, mendendam kalbumu

Bertanya pada lakumu

Menyesal tak sempat lindungi Ibumu

Hasian No.4

Langkah tegap dan pasti mendekat cepat

Jantungmu berdebar kencang, takutmu memekat

"Kau dengarnya aku, Hasian? Yang menangisnya Kau?

Kau lihat mataku Hasian! Kenapa tak kau jawab aku?!"

Dugaanmu tak pernah meleset

Pengalaman mengajarmu pesat

Tangan itu pasti mendarat

Bekasnya selalu lebih berat

"Sama kau dengan Mamakmu. Tak pernah kau dengarkan aku!"

Mata bengis berpaling berlalu

Kau diam menatap punggung di balik baju kelabu

Aku sama dengan Mamakku. Untuk dilukai selalu.

Inang, Inang, didia Ho Inang...

Mansai hansit huhilala, Inang...

Mansai hansit ilukki...

Dibege Ho do Au Inang, didia do Ho...[5]

Memangku lututmu, mengayunnya perlahan

Berharap 'kan tertidur melupakan sejenak

Air matamu mengering dengan isak tertahan

Takut-takut kau seka dengan ujung sapu tangan

Menangis aku Inang, seperti tangismu dulu

Menggigil tubuhku Inang, menahan takutmu dulu

Peluk aku Inang, seperti kupeluk dulu

Hapus air mataku Inang, yang membasahi rambutku

Hasian No.5

Teriak yang tertahan di balik bantal tidurmu

Sebarkan pada dunia

Hingga ke ujung-ujung jalan itu

Menembus bisunya awan-awan

Aku di sini, Hasian,

Aku dan yang lainnya

Hentikan goretan luka ini, Hasian,

Hentikan bersama yang lainnya

Kudengar jeritmu, Hasian, seperti kau menelan jeritku dulu

Jangan kau diam, Hasian, jangan kau tahan pilu itu

Cukup sampai padaku, Hasian, cukup sampai padaku

Kasihi dirimu, Hasian, jangan biarkan kau kecap keluku

Berdirilah, Hasian, melangkahlah keluar

Buka matamu, Hasian, lantangkan ke semua

Cukup sampai padaku, Hasian, cukup sampai padaku

Kasihi dirimu, Hasian, jangan biarkan kau kecap keluku

Hasianki, Borukki, Haholonganhi...

Sesalku hanya diamku, langkahku berhenti di perih

Oo Hasian, Borukki, Haholonganhi...

Di son do Au, hubege ilu-ilumi[6]...

Berdirilah, Hasian, melangkahlah keluar

Buka matamu, Hasian, lantangkan ke semua

Cukup sampai padaku, Hasian, cukup sampai padaku

Kasihi dirimu, Hasian, jangan biarkan kau kecap keluku

Dorothea, Diba

June 3rd, 2009

[1]Hasian: 'Sayang' dalam Bahasa Batak Toba

[2] Inang: 'Ibu' dalam Bahasa Batak Toba

[3] Amang : 'Ayah' dalam Bahasa Batak Toba

[4] "Oo.. Sayang, Puteriku, Kecintaanku... / Aku selalu baik... Aku baik... / Mengapa seperti itu, haruskah Aku selalu menangis? / Oo.. Sayang, Puteriku, Kecintaanku... / Adakah yang salah kuperbuat ke Ayahmu? / Mengapa seperti itu, haruskah Aku menderita?"

[5] Ibu, Ibu, dimana Kau Ibu... / Sakit sekali rasaku, Ibu... / Sakit sekali air mataku... / Kau dengarkah Aku Ibu, dimana Engkau...

[6] Aku di sini, kudengar isak tangismu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun