Mohon tunggu...
Diba Dorothea
Diba Dorothea Mohon Tunggu... -

Masih berstatuskan mahasiswi untuk konsentrasi studi Komunikasi Pemasaran dan Periklanan di salah satu universitas swasta, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk 'bercengkerama' dengan hal-hal yang saya cintai; warna, kata dan anak. Satu hal yang saya catat betul dalam benak saya: pengetahuan yang murni - tak terusik kepentingan apapun - juga yang jujur, didapat dari kehidupan dan alam semesta. Bukan dari sekolah. :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita di Sore Hari

6 Agustus 2010   06:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih sore, pikirku, dan kulanjutkan menonton kodok-kodok menari riang di antara daun-daun teratai hijau, bersama cipratan-cipratan air yang melompat memercik-mercik dan menghilang oleh kaki-kaki kecil dan badan mereka yang besar. Berjongkok aku memeluk kedua kakiku, menumpukan wajahku ke atas kedua lututku. Lucu, pikirku, dan aku membayangkan menjadi mereka. Bukan kulit berlendir atau suara kwok-kwok mereka yang kukhawatirkan, namun kaki-kaki kecil kurus yang harus menahan berat badan montok berkulit tebal dan keras. Tepat di saat seekor kodok bangkong raksasa berwajahkan mukaku sendiri memenuhi benak - seakan memenuhi tepat daerah pangkal hidung di antara kedua alisku; aku terkejut melihat pelangi-pelangi kecil bermunculan, mengaitkan antara daun-daun teratai yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada matahari terik setelah hujan saat itu; yang ada hanya aku, kolam dan langit mendung - seingatku. Aku tidak mau repot-repot memeriksa keadaan langit di atas sana, aku hanya berusaha mempertahankan bayangan kodok berwajahkan aku sambil memandangi pelangi-pelangi kecil terbentuk sempurna - dan aku bangga dapat berkonsentrasi penuh akan keduanya hingga aku melihat kodok-kodok mulai berloncatan sambil berputar saat mencapai titik tertinggi loncatannya bagaikan ballerina. Ballerina-ballerina hijau besar berlendir tanpa rok tutu. Cantik dengan gayanya sendiri walaupun sama sekali tak menyerupai bentuk peri menari anggun dan lentur. Seluruh perhatianku terkuras mencermati rupa-rupa para kodok yang mempertontonkan tarian mereka. Tepat saat aku mulai merasa paras mereka berubah pelan-pelan membentuk garis-garis wajahku, aku menyadari perut-perut gembul mereka berubah warna menuju merah muda dengan totol-totol samar pada permukaannya. Aku heran tak terkira bagaimana perut-perut itu berubah wujud sebagai buah-buah stroberi ranum, lengkap dengan keempat kaki dan kepala kodok. Menari, berputar-putar anggun, masih seperti ballerina. Otakku mulai memainkan Divertimento in D,K.136 sebagai musik pengiring saat sudut mataku menangkap bayangan seekor kucing. Duduk tegak di pinggir kolam, persis di seberangku. Bermahkotakan halo tipis yang bersinar celing-celing. Ada yang aneh dan mengganggu pada paras sang kucing, dan aku menyimak bagaimana kedua lubang hidungnya melebar menyerupai hidung babi, mengarah ke atas menantang langit. Aku mengikuti arah pandang lubang hidung itu, menatap langit, dan mulai berpikir pastilah aku tak waras. Kukerjapkan mataku dua tiga kali sambil berharap detik berikutnya aku memandang ke arah kolam, pemandangan yang kudapatkan sudah dalam versi normal dan lazim.

Harapanku tak terwujud. Menyakitkan bagaimana kenyataan sering berbeda dari apa yang kita inginkan. Kulihat kuncup-kuncup teratai bermekaran membentuk bayi-bayi buah durian. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kuat-kuat, berusaha mengenyahkan visual-visual aneh dan janggal dari mata dan otakku - tiba-tiba, sesuatu mengetuk-ngetuk bahuku. Setengah melayang kucing berhalo menyapa dan aku segera menelengkan kepala, memeriksa barangkali ia juga bersayap seperti malaikat. "Kamu kenapa?", tanyanya, dan suara itu mengingatkanku akan... suaraku sendiri. Detik itu juga perasaan benci dan marah menguasaiku, dan aku menatap dalam-dalam pada kedua mata sang kucing, berusaha keras untuk tidak melirik agak ke bawah tempat kedua lubang hidung ala babi berada. "Kamu kenapa?", tanyanya lagi. Aku sudah hampir menjawab saat seorang Nenek tua bersanggul dengan rambut seadanya lembab berminyak berjalan mendekati dari arah belakang sang kucing. Segera aku berdiri, semua ini mulai tak tertahankan. Pelan-pelan aku melangkah mundur, tersandung sandalku sendiri yang sebelumnya kulepas saat tiba di tempat ini. Aku bersyukur dalam hati untuk tidak duduk terjatuh dan mendapatkan keberanian untuk berbalik dan mulai berlari. Jantungku berdegup kencang, samar-samar kudengar suaraku memanggil namaku dari kejauhan di belakangku - aku yakin itu berasal dari pita suara Sang Nenek. Nenek tua keparat meniru suaraku. Kupikir aku berhasil menjauhi kolam aneh dengan komunitas kodok menari saat kucing berhidung babi menghadang di depanku. "Ha.", ujarnya datar dengan suara sopran merdu, "Kamu hendak kemana?", tanyanya. Sepertinya aku menangkap salah satu sudut mulutnya terangkat tanda tersenyum sinis. Sontak aku berhenti berlari dan dalam sedetik berusaha keras membuat wajahku terlihat kejam - menutupi rasa takutku. "Hendak???", jeritku, "Dari mana kau pelajari kata 'hendak'???", sambungku, "Kau kucing! Kucing janggal berhidung babi! Tak mungkin kau bisa berbahasa manusia!", teriakku terengah-engah. Aku mulai meraba dadaku yang terasa sesak. "Buktinya aku bisa.", sahutnya sambil memiringkan kepala. Congkak.

Wajahku memanas dan pastilah terlihat merah. Aku marah. Aku bingung dan marah. Terlalu bingung dan marah untuk dapat berkata-kata. Jadi aku duduk menenangkan diri, mengambil keputusan berat untuk mencoba mengabaikan makhluk-makhluk di taman ini. Aku mendengar langkah kaki terseok-seok mendekatiku - dan sesuai dugaanku, Nenek bersanggul lengket seukuran telur puyuh terkulai lemas dekat lehernya menyodorkan segelas air ke hadapanku. "Minumlah.", ujarnya. Naluri menyuruhku menoleh ke arah Si Kucing, dan makhluk itu mengangguk pelan, yang kuartikan juga untuk menyuruhku minum. "Air dari mana ini?", tanyaku sengit pada Sang Nenek yang sekarang sudah duduk di sampingku, menggoyang-goyangkan tubuhnya maju dan mundur seakan me-ninabobo-kan dirinya sendiri. Setengah terpejam Ia menjawab singkat, "Surga."

Yang kuingat, langit menggelap dan mataku mengabur. Aku tak ingat apapun lagi selain hitam yang kelam dengan beberapa kodok sesekali muncul menari berputar-putar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun