Mohon tunggu...
Diba Dorothea
Diba Dorothea Mohon Tunggu... -

Masih berstatuskan mahasiswi untuk konsentrasi studi Komunikasi Pemasaran dan Periklanan di salah satu universitas swasta, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk 'bercengkerama' dengan hal-hal yang saya cintai; warna, kata dan anak. Satu hal yang saya catat betul dalam benak saya: pengetahuan yang murni - tak terusik kepentingan apapun - juga yang jujur, didapat dari kehidupan dan alam semesta. Bukan dari sekolah. :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak-anak dan Karya Visual dalam Ruang

7 September 2010   07:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar satu jam perjalanan dari kota Yogyakarta, tepat di Kabupaten Kulonprogo, terdapat satu sekolah alternatif yang bernama Sekolah Mbrosot. Disebut sekolah alternatif karena bukan merupakan sekolah formal yang menjalankan kurikulum dari pemerintah. Pada awalnya sekolah ini hanya berupa perpustakaan dengan beberapa anak dari lingkungan sekitar sebagai pengunjung hingga dalam data terakhir yang diambil pada awal tahun 2010 bertambah menjadi kurang lebih seratus empat puluh anak. Namun dalam beberapa bulan terakhir terdapat empat program yang dijalankan oleh Sekolah Mbrosot selain perpustakaan; menulis, melukis, Bahasa Inggris dan Tari Balet - walau diluar keempat program tersebut masih terdapat berbagai aktivitas anak lainnya, seperti menyulam, membuat boneka, dan tari tradisional.

Satu hal yang mengesankan dari Sekolah Mbrosot adalah penataan ruang yang penuh warna dan khas anak-anak, tidak seperti ruang kelas yang biasa kita temui. Sketsa atau lukisan bahkan boneka yang terbuat dari koran bekas, ditempelkan pada pigura buatan. Warna-warni yang digoretkan atau dengan penuh semangat dilumurkan pada bentuk-bentuk tiga dimensi. Karya-karya itu adalah diri mereka - anak-anak Sekolah Mbrosot.

Bila mengingat ruang-ruang kelas Sekolah Dasar antara tahun 1991 hingga 1996, kesan yang didapatkan - sebagai seorang murid kecil - bisa jadi tidak jauh dari dingin dan kaku; hal-hal yang membuat para siswa ingin segera menghambur keluar kelas saat lonceng penanda jam istirahat berbunyi. Pajangan burung garuda dengan tulisan 'Bhineka Tunggal Ika' diapit oleh foto kepala negara beserta wakilnya persis diatas papan tulis besar di dinding yang berhadapan dengan deretan tempat duduk siswa. Beberapa foto pahlawan nasional mungkin akan tergantung rapi di sisi-sisi dinding lainnya selain papan tulis kecil berwarna hitam yang berisi keterangan presensi. Selebihnya hanya ruang-ruang kosong putih yang sesekali dicoreti siswa (dan kemudian mengundang teguran guru).

Gambaran yang sungguh berbeda dari warna yang menghiasi ruangan-ruangan di Sekolah Mbrosot. Disini anak-anak sendiri yang menentukan dekorasi ruang tempat mereka beraktivitas dengan karya-karya mereka. Dengan konsepnya sebagai sekolah alternatif yang dapat diartikan sebagai ruang belajar yang tidak mengikuti kurikulum sesuai peraturan pemerintah, ia bebas menentukan materi apa yang akan diberikan pada anak serta metode penyampaiannya.

Walaupun remaja usia sekolah menengah masih tampak sebagai pengunjung Sekolah Mbrosot, anak-anak usia sekolah dasar merupakan pengunjung mayoritas yang menghabiskan banyak waktu setiap harinya untuk beraktivitas di sekolah ini. Anak-anak yang (seharusnya) belum terusik batasan apapun, khususnya dalam belajar, bermain serta berkreasi. Anak-anak pada usia maksimal perkembangan otak yang oleh karenanya berhak untuk mendapatkan apapun yang terbaik dalam penambahan wawasan dan kemampuan. Anak-anak pada masa awal pengenalan minat serta penemuan bakat. Anak-anak yang masih dipenuhi energi positif untuk bergerak dan mencipta.

Salah satu metode yang sudah dikenal luas memberi sumbangsih besar dalam perkembangan otak anak (khususnya otak kanan yang 'bertanggungjawab' atas kreativitas dan sensitivitas) adalah pengenalan seni. Musik sebagai salah satu bagian dari seni sudah tersohor dengan Mozart dan efeknya bagi perkembangan otak anak sejak masih berupa janin. Lalu di mana letak seni visual? Apakah jenis-jenis seni seperti ini juga memberi sumbangsih terhadap perkembangan anak?

Melihat Sekolah Mbrosot dan anak-anak di dalamnya, perlu diperhatikan mengapa mereka tumbuh menjadi anak yang kritis juga 'bersahabat' dengan lingkungan sekitarnya. Gambar-gambar yang terpajang di hampir seluruh ruangan dalam bangunan ternyata bermakna jauh lebih besar daripada sekedar pajangan yang bersifat dekoratif dan berfungsi memperindah ruangan semata.

DalamCreative and Mental Growth, Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain menyatakan bahwa seni adalah ekspresi paling mendasar dari seorang anak dan merupakan pembahasaan pikiran mereka sembari cara mereka mengekspresikan diri terus berkembang ("...For a child, art is primarily a means of expression. ... ... A child is a dynamic being; art becomes for him a language of thought, and as he grows his expression changes." - hlm. 7 & 8). Sejak awal, anak-anak di Sekolah Mbrosot telah diperkenalkan pada kegiatan seni. Tidak hanya menikmati dan belajar untuk menghargai, tetapi juga belajar menciptakan karya-karya visual. Proses mereka dalam berkarya diawali dengan sharing ideas dengan kakak-kakak yang membantu mereka kemudian membuat karya secara bersama-sama dengan anak-anak lainnya. Ada begitu banyak yang bisa dipelajari dalam proses ini; bagaimana anak-anak belajar mendengarkan untuk memahami, bagaimana anak-anak belajar berbagi dan saling menyemangati (bersaing sehat) dengan teman-temannya. Secara personal, mereka juga belajar untuk menekuni apa yang telah mereka mulai selain tentu saja mengasah sensitivitas mereka dalam berkarya. Karya-karya yang telah selesai kemudian dipajang di dinding-dinding ruangan, yang secara berkala akan diganti dengan karya-karya baru lainnya yang juga diciptakan oleh anak-anak itu sendiri.

Disinilah karya-karya visual memainkan peran lanjutan, sebagai representasi diri para penciptanya. Melalui karya, kakak-kakak pembimbing juga para tamu yang datang berkunjung dapat mengenali kepribadian masing-masing anak. Anak-anak juga terpicu untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi karena mengerti betul bahwa dengan dipajangnya karya mereka, mereka sebaiknya tidak asal-asalan dalam mengerjakan sesuatu. Mereka juga dapat menilai diri mereka sendiri dengan melihat karya yang dihasilkan oleh teman-teman mereka. Diatas segalanya, kesadaran mereka akan karya dan ruang juga bertambah.

Kesadaran akan karya yang dimaksud di sini adalah bagaimana karya 'diperlakukan' oleh mereka. Mereka cenderung berhati-hati sejak proses awal membuat karya hingga karya terpajang dan sensitif dalam menjaga karya mereka (apakah tergantung dengan miring ataukah terbang terkena angin). Dalam kaitannya dengan ruang, tumbuh sense of belonging akan tempat mereka menghabiskan banyak waktu dalam beraktivitas. Sekolah Mbrosot sebagai wadah mereka bersosialisasi, belajar dan berkreasi kemudian dianggap sebagai rumah kedua. It is the child's process - his thinking, his feelings, his perceiving, in fact, his reactions to his environment - that is important.[1]

Rumah, dalam konteks ini, dibahasakan sebagai ruang yang memberi rasa nyaman dan mengundang orang-orang yang sempat singgah untuk kembali datang. Rumah yang memberi rasa hangat dan mampu 'merangkul' orang-orang yang berada didalamnya. Rumah bukan sebagai tempat tinggal, namun ruang yang memberi rasa betah untuk melakukan apapun.

Hal ini penting bagi anak-anak untuk dapat membuat mereka merasa kerasan dan bersedia untuk beraktivitas didalamnya. Sekolah Mbrosot kemudian tidak menemukan kesulitan dalam mengumpulkan anak juga mengikutsertakan mereka dalam program-program yang sudah dirancang dengan baik. Bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah formal, ruang alternatif seperti yang disediakan oleh Sekolah Mbrosot memungkinkan munculnya kerjasama yang baik pada anak-anak yang tentunya berdampak bagi kelanjutan berlangsungnya program-program yang ada. Program yang dirancang semenarik apapun sebaiknya dilengkapi dengan keberadaan ruang yang mendukung ketertarikan anak - dalam hal ini - karya seni visual sebagai dekorasi ruangan yang mengambil peran penting. Keikutsertaan anak dalam proses penataan dekorasi ruang hingga rasa yang muncul pada anak setelahnya (sampai kemudian tiba waktunya mereka kembali berkarya dan memajang karya-karya baru mereka) menjadi satu tonggak penting akan kelanjutan keberadaan mereka dalam ruang tersebut. Pada akhirnya, selain perkembangan pada otak kanan anak - sebagaimana telah dinyatakan oleh banyak teori - seni juga memberi pengaruh yang cukup besar terhadap psikologis anak. Perkembangan otak dan psikologis anak inilah yang menjadi modal penting bagi perkembangan kepribadian anak selanjutnya dan (semoga) cukup dapat memberi sumbangsih dalam masa depan mereka nantinya.

Sederhananya, bila menilik kembali dan membandingkan sekolah-sekolah formal dengan sekolah alternatif, kekosongan dalam pendekatan seni serta penataan ruang di sekolah formal diisi oleh sekolah alternatif seperti Sekolah Mbrosot. Seni - utamanya karya visual - menurut salah seorang pengelola Sekolah Mbrosot, juga dijadikan sebagai alat untuk menggali pengetahuan dengan lebih cair (selain sebagai alat untuk mengenali karakteristik personal masing-masing anak). Mungkin sekolah formal perlu lebih serius dalam menerapkan metode ini guna berlangsungnya proses belajar-mengajar yang lebih baik.

[1] Lowenfeld, V. and Brittain, L. 1987. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan. Hlm.9

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun