Mohon tunggu...
Diba Dorothea
Diba Dorothea Mohon Tunggu... -

Masih berstatuskan mahasiswi untuk konsentrasi studi Komunikasi Pemasaran dan Periklanan di salah satu universitas swasta, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk 'bercengkerama' dengan hal-hal yang saya cintai; warna, kata dan anak. Satu hal yang saya catat betul dalam benak saya: pengetahuan yang murni - tak terusik kepentingan apapun - juga yang jujur, didapat dari kehidupan dan alam semesta. Bukan dari sekolah. :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SELA

6 Agustus 2010   12:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sela...

Terakhir aku melihatmu, dengan janggal kau sandarkan bahu kananmu ke tembok bata itu. Dengan kepala menengadah seakan-akan hampir patah, dengan jumputan-jumputan rambut kusut terurai aneh menutupi lehermu - basah oleh keringat, lembab oleh air mata. Sudah tak mungkin aku menertawakan kepalamu yang setengah botak dan mata kiri yang tak pernah bisa membuka lagi; aku hanya tertegun karena saat itu - tangan kirimu menggenggam sebatang mawar. Mawar merah ranum masih kuncup malu-malu. Kalian berdua - kau dan mawar itu - bersandar di tembok bata - di bawah derasnya hujan.

Sela...

Terakhir aku melihatmu - sebagaimana selalu selama lima tahun sebelumnya, kau berdiri diam-diam hampir tak kenal waktu. Satu bungkus rokok kuhabiskan memandangimu, kuselingi kopi dalam kemasan atau kacang kulit seplastik hitam. Kau abaikan teriakan melengking anak-anak kecil yang datang dan pergi, seakan cemooh sekejam apapun tak kan sanggup membuatmu menoleh dan menggertak. Di tembok bata yang sama, dengan posisi serupa, kau menatap jauh menembus birunya langit, menantang matahari yang membakar kulit keriput lusuhmu. Dan kalaulah hujan turun, kau hanya akan menyeka dahimu sesekali, meringis menautkan kedua alismu, lalu kembali menatap langit.

Sela...

Tak pernah ada jeda dalam hari-harimu, sekedar mengais makanan atau berjongkok melemaskan kedua kakimu. "Orang gila! Orang gila!", kata mereka - dan kau tak bergeming. Satu dua batu mengenai tubuhmu, kau bahkan tak melirik. Dan terakhir aku melihatmu, dengan mawar merah ranum itu, Bapak-Bapak penghuni kampung yang biasa berjudi di warung sudut ikut datang menontonmu - diam termangu memandang mawar dalam genggamanmu. Saat itu tepat lima belas menit sebelum detik ini, saat kami semua menjerit tertahan. Kotak beroda empat menyambarmu dan berlari kencang menderu-deru, meninggalkan tubuhmu terbaring di tepi tembok bata. Aku tak tau apakah itu warna asli gaun lusuhmu yang terlihat lebih merah - merah ranum menyerupai mawar yang masih kau genggam. Basah tubuhmu lebih lekat dan pekat, namun tak membuatmu terlihat tak berdaya. Kau bahkan tersenyum - untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu tersenyum. Dan saat orang-orang berbelas kasih beranjak menutupi tubuhmu dengan lembaran-lembaran koran, aku tersadar, mungkin inilah yang kau tunggu. Panggilan Yang Kuasa untuk meninggalkan hidupmu; bersandar pada tembok bata dan hidup dalam duniamu sendiri, bergerak diam-diam bersama anganmu, tertawa dan menangis dalam dinginnya parasmu. Mawar itu pastilah hadiah entah dari siapa, tanda perginya kau ke tempat yang disebut akhirat, tempatmu bahagia abadi tanpa harus terluka lagi.

Sela...

Pergilah. Tinggalkan dunia yang kejam ini, hiduplah dengan tenang. Beristirahatlah, Sela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun