Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan Buruh Wartawan

1 Mei 2016   14:57 Diperbarui: 1 Mei 2016   15:04 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu pagi aktifitas ku selalu di muai dengan olah raga, tetapi minggu kali ini ada yang berbeda dari hari biasanya. Kali ini aku melihat lebih banyak orang yang datang menuju sekitaran monas dengan atribut yang sama serta bendera berukuran besar yang di genggamnya. Ikat kepala dengan tulisan menyerukan perubahan juga disematkan di tiap jidat hitam mereka. Mereka mayoritas berkulit hitam dengan badan yang tidak terlalu gemuk. Menurut penafsiran ku, mereka berjumlah ribuan orang yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Ternyata mereka adalah para buruh yang datang khusus ke Jakarta untuk memperingati hari buruh internasional. Bukan hanya mereka yang datang, para aak media pun turut hadir untuk memberitakan kepada masyarakat demo buruh yang biasanya berakhir ricuh. Tuntutan para buruh tetap sama yaitu menaikan upah dan tunjangan.

Aku yang penasaran dengan jalannya demo nanti bersandar pada sebuah pohon rindang, aku tak tau dari jenis apa yang jelas pohon itu dapat menutupi ku dari teriknya mentari kali  ini. Aku duduk bersandar pada batang pohon yang bisa di peluk hingga 5 orang. Aku terus memperhatikan para buruh dan beberapa wartawan yang berjalan berdekatan.

Ternyata dari sudut yang berbeda, mata ku menangkap ada seorang wartawan yang mencuri start dari rekannya karena dia telah mewawancarai seorang buruh. Dia nampak sangat serius bertanya dan sang buruh amat antusias menjawab. Buruh dengan tangan penuh urat dan bekas luka bakar tersebut sampai mengepalkann tangan ke udara saking semangatnya, seraya berkata “hidup buruh” temannya di belakang datang menghampiri dan mereka berteriak teriak meneriakan yel yang aku tak tau liriknya tetapi aku bisa merasakan semangat perjuangannya.

Tak lama berselang aku melihat wartawan yang muncul dari sebrang jalan, wartawan ini adalah laki-laki sekitar 27 tahun. Langkah kecilnya menyebrangi jalanan Jakarta yang luas, sepertinya dia tak sadar bahwa kakinya yang pendek itu tidak akan cepat membawanya menuju seberang jalan dan dia seharusnya berlari. Lelaki itu juga hitam rambutnya lurus. Ketika angin bertiup aku melihat beberapa helai rambutnya ikut bergoyang layaknya dedaunan.

Dia datang kearah ku, ternyata dia ingin menikmati rimbunnya pepohonan Jakarta yang mulai sangat jarang di jumpai. Beberapa butir keringat nampak di wajahnya yang hiam itu, dia segera menghapusnya dengan bajunya. Dia mengeluarkan teman setianya saat bekerja yaitu hanphone untuk merekam maupun menulis berita. Dia berdiri melihat beberapa kawannya mulai melakukan aktifitas mewawancarai.

Dia bergegas bangkit dan berlari menuju kerumunan pewarta dan buruh. Aku yang duduk hanya diam dan memandangi beberapa gadis0gadis yang mundar mandir dibawah mentari. Sekitar 20 menit wartawan yang duduk di sebelah ku tadi datang kembali, dia terlihat kebingungan. Wartawan yang sekilas aku liat dari kartu pengenal di lehernya bernama Adi tersebut menggerayangi isi sakunya. Dia semakin bingung seperti ada yang hilang dari sakunya.

Seorang buruh menghampirinya, dia ternyata mengenal wartawan tadi. Mereka berdua akhirnya berjalan menuju pohon besar tempat aku bersandar. Mereka berdua tiba dan anehnya sang buruh malah memberikannya uang sebesar 50.000 rupiah.

Samar aku dengar percakapan keduanya, ternyata mereka tinggal berdekatan. Adi ternyata kehilangan uang 50.000 miliknya, dan naasnya uang tersebut adalah uang terakhir yang dimilikinya karena gajinya sebagai wartawan sudah habis untuk biaya oprasional sehari-harinya serta sebagian uang lagi dia peruntukan untuk Ibunya yang tidak memiliki penghasilan.

Buruh bernama Slamet ini berkata sambil bercanda, “makanya jadi buruh pabrik kaya gw, gaji gede dari pada lo wartawan gaji gak kecil nyampe UMR aja kaga hahaha”. Adi hanya tersenyum dan berkata “ini yang gw dapet, nikmatin aja”. Slamet menyambung “yaelah kesian ijazah lo kalo cuman dapet segitu, kesian keluarga lo juga di rmh kesian lo juga capek hati, otak, tenaga tapi upah gak kira kira”.

Aku yang bosan segera bangkit dan pergi dari pohon tersebut, menyisakan percakapan antara teman parter kerja dan sebatang Pohon yang selalu bisu melihat ketimpangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun