Suara kereta mulai menggema di telinga ku menandakan perjalanan mulai dilanjutkan. Siang itu aku menaiki kereta menuju Kampung Bandan, sebuah tempat yang berada di ujung Utara Jakarta. Kali ini aku beruntung pasalnya manusia urban tak berjubel di dalam kaleng usang ini.
Aku mencoba untuk menghalau bosan, akhirnya aku mendekatkan tubuh ke pintu kereta berkaca. Aku memperhatikan ada beberapa pekerja yang tak ragu membetulkan lajur kereta yang sudah lapuk dimakan usia. Walaupun kereta sedang berjalan mereka hanya bergeser beberapa langkah dari titik awal tempat kerjanya. Mereka mungkin tak pernah memikirkan keselamatannya karena mereka merasa keselamatannya ada di tangan tuhan bukan di tangan kantor pemerintahan tempat mereka bekerja.
Topi kuning dengan rompi menutupi keringat yang bercucuran dari wajah mereka, dengan penuh harap mereka memperhatikan hasil kerja merekam karena tergerus oleh roda kereta. Entah apa yang mereka kerjakan, karena aku hanya melihatnya dari dalam kereta. Pandangan ku tak bisa menjangkau semua situasi.
Kereta berjalan perlahan namun pasti, baru kali ini aku merasakan kejadian ini. Biasanya kereta berjalan pelan karena ingin mencapai stasiun atau baru beranjak dari stasiun. Ternyata beberapa saat kemudian ada pemandangan baru untuk ku, penggusuran sedang terjadi. Inilah cikal bakal pelannya kereta hari ini.
Rumah-rumah pinggir rel menjadi saksi bisu penggusuran demi “kemajuan” entah kemajuan apa yang akan di capai, kemajuan untuk perseorangan atau banyak orang. Di pinggir kereta terdapat beberapa orang korban penggusuran mengamati para lelaki untuk merubuhkan tempat mereka berteduh dari teriknya matahari dan dinginnya malam.
Sementara bebebrapa petugas hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa walau hanya sekedar menolong warga. Petugas berseragam biru ada pula yang mengenakan seragam putih terlihat hanya berbincang ringan dengan sesamanya. Rata-rata dari mereka menyematkan sebatang rokok untuk menikmati pemandangan siang ini. Ada pula yang melihatnya dengan gaya perlente, rokok di tangan kanan dan secangkir kopi di tangan kiri.
Sementara para lelaki tadi bercucuran keringat mengenakan kaos oblong mereka menghancurkan bangunan yang menjadi tempat mereka biasa beraktifitas. Tempat yang mereka bangun dengan uang alakadarnya dan tak jarang mengkebiri uang untuk makan demi terpenuhinya unsur prnting dalam hidup yaitu papan.
Laki-laki itu semuanya berbadan kurus dan berkulit gelap segelap kehidupan mereka. Hal ini kontras dengan petugas, mereka berbadan kekar dan tegap setegap keangkuhannya. Gelak tawa petugas seperti duri di dalam jemari, menusuk walau tak terliat jika diamati.
Angin berhembus akibat terpaan kereta, salah seorang wanita yang duduk persis di pinggir kereta berkibar helai helai rambutnya. Rambut yang terlihat kusut itu coba di rapihkan oleh wanita itu. Kibaran rambut usang itu mirip dengan kibaran bendera merah putih di salah satu rumah warga. Bendera itu usang dimakan usia dan robek akibat ulah tikus-tikus yang tidak pernah bosan menggerogoti apapun didepannya.
Sekitar 10 rumah menjadi korban pembangunan di pinggir kereta. semua laki-laki atau lebih tepatnya kepala keluarga dari masing masing rumah membongkar rumah mereka. Entah apa yang mereka pikirnkan, karena pembokaran itu sangat halus seperti ingin membangun rumah. Dengan hati-hati satu persatu bahan bangunan di cabut dari paku atau perekat lainnya. Mungkin barang-barang itu akan di daur ulang untuk membuat istana seperti pengemplang pajang yang selalu mendaur ulang kekayaannya dan menyebarkan uangnya ke Bank Swess agar tak terendus penegak hukum.
Lain lagi dengan anak yang aku taksir berumur 3 tahunan di pangkuan ibunya. Ia syik mengulum botol susunya. Tapi anehnya dalam botol itu berwarna coklat seperti teh yang kebanyakan air. Tetapi bocah itu tetap saja menikmatinya dengan puas. Bocah laki-laki itu mengamati kereta yang aku tumpangi. Dia tersenyum ke arah ku, aku membalah senyumannya dengan senyum miris tak menentu.