Sebilah bambu menjulang tinggi ke angkasa. Angin bertiup kencangnya hari itu, 10 Agustus 2016. Aku menikmati semilir udara yang sejuk ditengah padatnya suasana Ibu Kota Jakarta.Â
Kuhisap dalam rokokku, dihembuskannya ke langit-langit. Asap yang mengepul seketika hilang disapu angin. Setiap pagi aku sering menikmati suasana Jakarta di depan kamar ku yang kebetulan berada di lantai dua.Â
Walau pemandangannya tak seindah gunung, setidaknya aku masih bisa menikmati semilir angin dibandingkan saudaraku yang rumahnya numpuk diatas petakan tanah. Jangan berharap menikmati angin sepoy-sepoy, untuk mengeluarkan motor yang menjadi transportasi pribadi utama bagi  kalangan menengah kebawah pun sulit dilakukan mengingat jalanan yang sempit.Â
Jangan pula berharap anak biasa berlarian bebas. Karena hari-hari mereka diisi dengan sampah yang menumpuk serta kepenatan orang tuanya yang tak bertanggung jawab menafkahi usus-usus mereka yang masih belia.Â
Kesehatan? Jangan terlalu jauh berpikir. Untuk membeli nasi dan orek tempe kadang harus berhutang ke warung nasi. Kembali ku nikmati sebatang rokok ini sambil memandang bilah bambu tadi, bambu yang ujungnya disematkan sang saka merah putih. Â
Tak terasa hari jadi Indonesia akan berlangsung. Pantas saja semua orang berbondong-bondong menghiasi rumahnya dengan bendera merah putih. Termasuk rumah itu, rumah sekitar tujuh tahun yang lalu baru diresmikan oleh pemiliknya.Â
Aku ingat dahulu sang pemilik rumah memampang bendera merah putih yang sangat lebar. Kibarannya membuat bambu penyangganya menukik tajam, akibat menahan beban bendera yang gagah berani dan hempasan angin. Â
Itulah awal cintaku pada rumah itu, lebih tepatnya pada bunga kayu di rumah itu yang berwarna merah dan putih serta berkibar gagah berani. Saat itu bendera masih baru, saat berkibar lekukan kain merah putih itu berkilauan diterpa sinar mentari. Kesan gagah makin terasa.Â
Tapi sayang, amat disayangkan bendera itu harus lunglai. Kibarannya tak seelok dahulu. Terakhir aku lihat sekitar dua tahun lalu, diujung sang saka itu compamg-camping. Bentuk yang tadinya persegi panjang berubah laksana ikan cupang yang habis kalah bertarung dengan lawannya, usang, dan compang-camping. Â
Kini sang pemilik menggantinya dengan bendera yang baru. Bunga kayu tadi seperti terlahir kembali. Pagi ku kembali berwarna melihat bunga kayuku, karena aku juga merasa memiliki bunga kayu itu, sangat indah. Â