Fakta bahwa Maradona menjadi seorang pahlawan di Argentina dengan iring-iringan warga yang memadati pemakamannya serta CR 7 dengan magisnya masih menjadi primadona brand serta fan sepak bola dunia untuk memujanya menunjukkan kalau kita mengesampingkan masalah ini.
Fan dalam sepak bola hanyalah komoditi yang kehadirannya sangat menentukan. Kita adalah komunitas yang memberikan nafas bagi perkembangan sepak bola, disamping talenta pesepakbola itu sendiri.
Sedikit banyaknya, suara suporter akan didengar oleh manajemen klub dan para pemain itu sendiri. Komunitas ini punya kekuatan untuk menyuarakan sebuah kebenaran sekaligus memberi sangsi sosial dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sialnya kita terlajur terjebak dalam fanatisme sepak bola yang cenderung menyesatkan hingga mengaburkan kebenaran tentang tindakan negatif para pemain di luar lapangan. Baru-baru ini bahkan jersey Mason Greenwood di Getafe ludes terjual dalam waktu 48 jam!
Kebintangan dan kecintaan masyarakat sepak bola kepada klub maupun pemain tertentu telah mendistrupsi pemikiran. Kesalahan ini perlu diluruskan sebagai upaya mengembalikan humanisme dalam sepak bola.
Setelah sepak bola menjadi sebuah industri, para pemainnya mengalami peningkatan stres karena tuntutan profesi dan padatnya jadwal pertandingan. Hal ini pernah saya bahas dalam tulisan berjudul Mason Greenwood dan Sepak Bola Tanpa Girah.Â
Berbeda dengan sepak bola zaman dulu yang banyak diberikan pembiaran disamping peraturannya tidak seketat sekarang. Saat ini sepak bola profesional dipenuhi peraturan jelimet dan para bintangnya didaulat sebagai super star dunia.
Tiap gerak gerik kehidupannya menjadi konsumsi masyarakat luas. Mereka dituntut profesional baik di dalam maupun luar lapangan, lantas mengapa kekerasan seperti ini dengan gampangnya terjadi?
Pemuja feminisme pasti menuding laki-laki sebagai kaum yang lebih sering melakukan tindakan ini merasa mereka lebih superior. Pria menganggap wanita merupakan objek yang mudah dieksploitasi sedemikian rupa.
Namun sungguh saya bukanlah pemuja feminisme. Saya lebih suka mencari jalan tengah yang sudah dikodratkan Tuhan kepada manusia yang memiliki akal budi, spiritual, dan kemanusiaan itu sendiri.