Globalisasi membawa gambaran sekaligus tolak ukur masyarakat satu negara terhadap gaya hidup serta sistem sosial dari bangsa lain. Kehadirannya turut membuat banyak kesepakatan global yang kadang bertentangan dengan nilai budaya di satu daerah.
Tabir dunia ketika globalisasi terjadi, seakan terbuka. Masyarakat di satu daerah dapat terhanyut oleh budaya dari luar. Namun hal ini menjadi wahana baru bagi kebudayaan daerah untuk menunjukan tajinya di panggung internasional.
Ancaman terbesar saat ini adalah merembesnya budaya luar tanpa adanya penyaring. Westernisasi menjadi candu bagi budaya pop di dunia, bahkan di Indonesia sekalipun.
Sangat disayangkan kini banyak kaum muda lupa akan budayanya. Nilai yang sudah digali sejak lama oleh nenek moyang dianggap kuno akhirnya terlupakan.
Padahal, budaya merupakan hasil olah pikir yang diciptakan leluhur untuk menandai maupun menghadirkan hal baik dengan berpijak melalui sumber daya di sekitar yang menjadi identitas lokal.
Kehadiran budaya di satu daerah sangat penting, utamanya bagi bangsa Indonesia yang multikultural. Melalui kearifan lokal tersebut, identitas negara tercipta.
Ikrar para pemimpin daerah saat merancang dasar negara menjadi contoh nyata kalau sebenarnya Nusantara berdiri berkat kesepakatan bersama dari perwakilan daerah dengan berbagai macam perbedaan budaya.
Sebenarnya bapak pendiri bangsa, Bung Karno telah memprediksi degradasi budaya lokal sebagai identitas nasional akibat infiltrasi budaya asing. Makanya saat itu Soekarno membuat konsep Tri Sakti, yang pada poin ketiga berbunyi "kepribadian dalam bidang kebudayaan".
Bahkan untuk menampilkan budaya daerah sebagai identitas nasional, Presiden Indonesia Pertama itu membuat kebijakan dalam menyambut delegasi bangsa lain melalui hidangan khas Nusantara. Selain itu para istri diwajibkan menggunakan kebaya dan sanggul sebagai representasi wanita Jawa.