Pelesiran, wisata, traveling, apapun namanya, tengah mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Apalagi sekarang, berbekal jaringan dan wadah yang berlimpah untuk mengabadikan momen berharga kala berpetualang, antusiasme terhadap sektor pariwisata makin tinggi.
Gembar-gembor keindahan alam di Indonesia lewat tayagan di televisi maupun layar lebar makin menggugah masyarakat mengunjungi lokasi tersebut, seperti gunung semeru. Gunung tertinggi di Pulau Jawa ini makin di kenal keindahannya lewat film fenomenal berjudul "5 Cm".
Tak hanya keindahan gunung, aktivitas pendakian turut digandrungi. Gunung semakin ramai dikunjungi, bahkan ada anekdot mengatakan bila pasar telah pindah ke gunung. Begitulah, saking ramainya pengunjung yang ingin merasakan adrenalin saat mendaki.
Namun pernahkah kita berfikir bila pendakian tidak semudah menyaksikan Saykoji mendaki melewati hadangan batu di puncak semeru? Disamping ketersediaan alat dan persiapan fisik prima, kita harus mempersiapkan manajemen entah waktu dan uang. Manajemen amat dibutuhkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Manajeman dalam pendakian sangat penting, bahkan menentukan kesuksesan serta keselamatan seorang pendaki. Manajemen waktu jadi contoh terbaik, siapapun pasti tidak mau berada di jalur pendakian ketika malam menyelimuti. Bahaya hewan buas, tersesat, bahkan hal-hal mistis yang bisa saja menghampiri kita menjadi masalah.
Manajemen keuangan jadi salah satu hal lainnya. Melalui manajemen yang baik, urusan logistik dan transportasi akan aman terkendali. Sebagai salah satu orang yang hobi melakukan pendakian, saya pernah mengalami dua kesalahan manajemen tadi.
Masalah terparah yakni ketika mendaki gunung manglayang. Gunung ini ketinggiannya hanya 1818 dan masih sedikit pendaki yang mengetahui keberadaannya. Padahal lokasinya berada di Kota Bandung, bahkan puncaknya dapat terlihat dari kampus UNPAD, Jatinangor.
Memang, keindahan yang disuguhkan gunung ini tak seindah gunung yang ada di Jawa Barat lainnya, tapi bagi penyuka jalur terjal, si mungil ini jadi pilihan. Tracknya cukup menanjak sejak kaki gunung hingga puncak, ketersediaan air harus diperhatikan karena tak ada mata air di sepanjang jalur pendakian.
Bahkan logistik yang saat itu memang disediakan untuk dua hari di atas puncak, harus dibagi dengan tim lain yang tersesat dan kami tolong. Tak ayal, kami kehabisan logistik. Uang untuk pulang ke rumah di Jakarta juga menipis karena salah satu tim mengambil uang itu untuk dibelikan rokok ketika sampai bawah.
Beruntung masih ada uang untuk membayar mobil sewaan menuju kampus UNPAD, karena pada tahun 2015, tidak ada angkutan umum menuju dan dari lokasi tersebut. Di sana, kami mengambil uang yang tersisa di rekening masing-masing karena hanya di kampus bersejarah itu saja lokasi ideal yang menyediakan banyak mesin ATM dari berbagai bank.