Di sebuah sofa empuk, harga dirinya dipertaruhkan. Sambil tertunduk lesu, perempuan berkerudung itu mendengarkan amarah yang dikeluarkan oleh nona di balik gawai yang merekam gerak gerik perempuan tersebut.Â
Sambil berteriak, nona melemparkan sejumlah uang. Tentu uang sungguhan. Jika perempuan berkerudung itu tak mengambilnya, bolehlah saya menerima sejumlah uang tersebut untuk menutupi pagu hidup yang kian menghimpit.
Cerita tadi merupakan cuplikan video tentang seorang pelakor. Entah bagaimana mulanya, tapi pelakor ini punya jiwa kesatria. Ia berani mengambil risiko bertemu istri sah suami yang ia gaet.
Entah berniat minta maaf atau telah "tercebur" sebelumnya. Namun menampakan diri di depan lawan merupakan satu sifat pemberani. Bahkan para pejabat yang mencuri dari rakyat saja tak berani secara terbuka bertemu rakyat dan mengakui salah.
Mereka, para koruptor di Indonesia, selalu berdalih bahwa dia tak bersalah atau dijebak oleh orang lain. Namun rompi oranye tak pandang bulu singgah di bahu tiap insan. Dan walau rompi itu telah disematkan oleh komisi anti rasuah, para koruptor tetap ceria. Seakan dunia hanya miliknya dan kita, rakyat, cuman onggokan karikatur tak bernyawa sehingga siap digunakan untuk membuat para pejabat tersenyum.Â
Dunia bisa dijadikan saksi bagaimana pejabat-pejabat Tiongkok dihabisi oleh bedil penguasa karena korupsi. Tak ada tawa. Hanya kesedihan yang mengiringi kepergian para tersangka korupsi di negeri para panda.
Kesedihan tersebut pula yang tergambar dari wajah pelakor yang katanya merupakan salah satu janda, teman dekat nona pemegang gawai yang videonya viral di media sosial. Namun, seorang pelakor digambarkan layaknya iblis.
Pelakor adalah musuh bersama kaum hawa yang memiliki suami sah. Pelakor telah menjadi musuh abadi dalam dunia pernikahan.Â
Terlepas dari siapa yang benar dan salah pada hubungan terlarang tersebut, harusnya kita belajar tentang satu dasar bertahan hidup, yakni intrik. Tanpa memiliki intrik terbaik, manusia tak akan hidup selama ini dan pelakor tak akan tumbuh subur di negeri tercinta.
Manusia yang awalnya berburu, kemudian menetap di satu tempat, bercocok tanam, meramu, hingga kini hanya butuh satu ketukan layar untuk hidup di tengah kota. Semua itu membuat kita, manusia, tetap eksis hingga kini. Dan kemudahan yang terakhir pula musabab fenomena pelakor kian meningkat.Â
Berkat unggahan tentang pelakor di media sosial, kami, kaum laki-laki, semakin sulit bergaul dengan lawan jenis. Ruang gerak kami dibatasi oleh pasangan, wanita menjadi makin ganas untuk menggenggam cintanya. Sungguh fenomena sosial ini makin mempersempit interaksi antar manusia.Â